#UmairNidaNikah 4: Hakikat Rezeki, Kehilangan, dan Takdir
1:35 AM
30 Desember 2015, Tokyo Arabic Institute, Minato-ku, Tokyo
"Barakallahu laki! Katanya datang jauh-jauh dari Kyushu ya?" Ucapan selamat dan pertanyaan dari seorang ibu berkerudung ungu ini sontak membuat saya keheranan tentang dari mana ia mengetahui sedikit informasi tentang saya. Tapi kemudian saya coba ingat-ingat lagi, di ruangan lomba tadi, ibu berkerudung ungu yang ada di depan saya sekarang adalah peserta dengan gerak-gerik paling leluasa di antara semua peserta yang ada. Di bagian luar pakaiannya, ia kenakan sebuah celemek dapur dengan lebar menutupi badan, sepertinya sengaja dipakai untuk hajat masak-memasak yang besar. Sebelum gilirannya dipanggil, terlihat beberapa kali ia sibuk mondar-mandir keluar-masuk ruangan dan ia juga lah orang yang menutup jendela ruangan perlombaan tanpa terlebih dahulu izin kepada siapa saja panitia yang ada di dalam ruangan itu. Ah, sepertinya ibu ini adalah peserta lomba yang juga bekerja disini sebagai staff atau panitia perlombaan ini juga. Saya membatin.
"Alhamdulillaah. Iya, Bu saya dari Beppu..."
"Maasyaaa Allah. Saya punya temen deket di Beppu, namanya Mbak Lita. Udah lama deh dia tinggal disana. Mbak Lita mah udah kayak ibunya anak-anak Indonesia yang di APU. Kenal nggak?"
"Hehe... kenal, Bu. Bahkan saya tinggal di rumahnya Bu Lita, jadi bayar yachin bulanannya juga ke beliau deh." Saya menjelaskan keterkaitan saya dengan Ibuk.
"Oh gitu? Maasyaaa Allah... Barakallah! Enak banget kalo gitu ya, masak enak terus sama Mbak Lita. Wah Mbak Lita pasti bangga nih 'anaknya' menang. Emang sengaja ke Tokyo buat ikutan ini?"
"Iya, Bu. Sekalian ikut daurah di Asakusa juga sih."
"Oh iya ya, ada daurah. Terus rencananya mau sampe kapan disini?"
"Saya pulangnya tanggal 10 Januari, Bu. Masih ada semingguan disini."
"Wah lama juga ya. Berarti mau ngapain rencananya abis ini? Jalan-jalan?"
"Rencananya nanti habis daurah selesai tanggal 1, mau ke tempat senpai di Tsukuba, barangkali ada baito yang bisa dimasukin buat semingguan gitu, Bu. Sebelum berangkat ke Tokyo saya udah e-mail panitia acara ini, barangkali ada kerjaan gitu, tapi katanya nggak ada."
"Wah jauh banget ke Tsukuba. Iya, disini emang nggak ada kalo untuk baito gitu. Saya kan kerja disini, jadi saya tau. Kamu nginep di rumah saya aja di Chiba. Kerja baito di saya aja buat ngajar ngaji anak-anak saya. Mereka bertiga laki semua sih, tapi kalo kamunya cuek ya santai-santai aja, toh mereka masih anak-anak," serunya mantap tanpa perlu berpikir panjang.
Sejujurnya saya tertarik dengan tawaran beliau. Tapi pengalaman saya menjadi pengasuh kelas tajwid mingguan di Beppu ternyata tidak lantas membuat saya percaya diri untuk mengiyakan ajakan ibu tersebut. Jelas, pekerjaan menjadi guru ngaji tidaklah salah. Tapi entah kenapa, ada perasaan tidak enak kalau saya harus mengambil uang hasil mengajarkan Qur'an. Apalagi kalau jenis baito-nya seperti ini kan lebih mengandalkan keikhlashan untuk sistem pembayaran gajinya.
"Wah, chotto... shitaikedo... Hm, maaf Bu nggak deh hehe," saya menolak tawarannya yang berarti juga mengindahkan ajakan untuk menginap di rumahnya. Selepas percakapan ini, pembicaraan selanjutnya yang terjadi di antara kami berdua adalah tentang siapakah beliau, kehidupan dakwahnya yang saling sokong-menyokong dengan suaminya yang seorang Jepang dan muslim taat, dsb. Hingga kemudian saya tahu bahwa nama beliau adalah Purwati.
"Panggil aja saya Pur. Kalo nama kamu siapa?"
***
1 Januari 2016, Masjid Darul Arqam, Asakusa, Taito-ku, Tokyo
Tahun lalu tepat di hari ini, saya sedang berada di Bali. Menyemarakan pergantian tahun dengan mengejar setoran hafalan Qur'an agar sekian juz genap sudah jumlahnya. Tahun ini alhamdulillaah sekali, dengan segala karunia-Nya, saya bersyukur telah ditempatkan di tempat yang tak kalah khusyuknya dengan karantina menghafal Qur'an di Bali setahun lalu. Sore hari ini, rangkaian tiga hari pengajian pada Daurah Asakusa ke-9 usai sudah semuanya dilaksanakan. Banyak peserta daurah yang merapikan barang-barangnya dari tadi pagi sebelum sesi pertama dimulai. Sebagian peserta memutuskan pulang hari ini. Sementara rombongan dari Kansai dan sekitarnya (Osaka, Kyoto, dan Nagoya) baru akan pulang besok pagi. Berarti masih ada satu malam hari lagi untuk menginap di Masjid Darul Arqam ini bersama Muthi dan Kak Daus. Pun masih ada satu kesempatan lagi untuk jalan-jalan dengan IAIC malam nanti. *walaupun sebenernya tadi malam IAIC yang akhwat udah jalan-jalan juga sih di sekitar Asakusa~
Banyak sekali pelajaran yang saya dapat dari Daurah Asakusa ini. Walaupun hanya berlangsung beberapa hari saja, ukhuwah yang terbangun di antara para peserta akhwat saya rasai cukup kuat. Materi-materi yang dipaparkan oleh sang ustadz juga jelas dan bisa dengan mudah dipahami. Pengisi materi daurah ini bernama Ustadz Ali, seorang da'i dari Medan yang lantang, tegas, dan cerdas menurut saya. Apalagi di materi terakhir yang jadi favorit semua orang, yaitu materi soal rumah tangga. Wah, para peserta daurah dengan seksama sekali mendengarkan beliau berceramah apalagi para peserta yang masih lajang (termasuk saya). Tiba-tiba, saya mendengar bahwa katanya Ustadz Ali mendadak diundang mengisi pengajian lagi di Masjid Hira yang ada di daerah Chiba besok siang. Spontan, saya segera memutuskan untuk datang. Oke, berarti saya akan menginap semalam lagi di Masjid Darul Arqam agar besok bisa langsung berangkat ke Chiba dari Asakusa bersama dengan dua ibu-ibu lain yang akan ikut bersama saya.
***
2 Januari 2016, Masjid Hira, Gyoto-ku, Chiba
Biidznillah.... Seperti yang sudah saya perkirakan, di pengajian ini saya yakin akan bertemu lagi dengan Bu Pur, karena tempo hari beliau bilang bahwa rumahnya terletak di daerah Chiba. Selepas pengajian, makan-makan, dan shalat dzuhur berjamaah, saya diajak beliau ke rumahnya untuk sekadar bersilaturrahim. Rumah Bu Pur hanya berjarak satu menit saja jauhnya dari Masjid Hira yang jadi tempat pengajian ini digelar. Saya tidak sendirian. Ada beberapa ibu-ibu lain yang juga ikut diajak ke rumah beliau. Disuguhinya kami dengan teh manis ala Indonesia, bukan ocha seperti biasa.
Percakapan kami hanya berlangsung beberapa saat. Setelah obrolan selesai, sementara ibu-ibu yang lain pulang, saya malah ditahan keluar oleh Bu Pur. Katanya, menginap saja di rumahnya satu malam dan besok saja berangkatnya ke Tsukuba. Berangkat pagi lebih baik daripada kemalaman, katanya. Akhirnya saya pun setuju. Toh saya ditawarkan oleh saudara seiman dan bukan saya yang meminta duluan. Lagipula beliau ini teman baik Ibuk saya. Agaknya, saya lah yang perlu merasa terkesan karena beliau langsung percaya kepada saya padahal ini baru kali kedua kami saling sua-saling sapa. Mungkin nama besar Ibuk lah yang jadi faktor utama.
***
3 Januari 2016, Rumah Bu Pur, Gyoto-ku, Chiba
Seharusnya hari ini jadi hari terakhir saya berada di Chiba. Seharusnya hari ini jadi hari terakhir saya bertemu dengan Bu Pur, Salman-san suaminya, dan Sholeh, Musa, serta Taqwa yang adalah ketiga anak laki-laki mereka. Tapi apa mau dikata, Allah ternyata punya rencana lain untuk saya. Sebuah kejutan besar datang. Dompet saya hilang. Terakhir kali saya ingat, saya memegangnya di Masjid Hira kemarin pada saat kotak amal masjid diestafetkan kepada jamaah pengajian. Jangan tanya betapa berharganya nilai dompet itu bagi saya. Jumlah uangnya memang tidak seberapa. Nominal di dalamnya memang hanya dipersiapkan agar setidaknya saya masih bisa survive sampai saya tiba di bandara Narita tanggal 10 Januari nanti karena pada dasarnya, kepergian saya ke Tokyo kali ini bukan murni plesiran atau jalan-jalan tidak karuan tapi supaya bisa ikut lomba dan datang pengajian Daurah Asakusa saja.
Tapi yang jadi masalah adalah, segala kartu penting yang berkaitan dengan hajat hidup saya di Jepang ikut amblas juga. Ada residence card, health insurance card, dua kartu ATM bank Jepang, dua kartu Bank Mandiri visa milik saya dan Ayah, student card, KTP Indonesia yang masih jaman baheula, hingga e-KTP saya yang terbaru. Dilengkapi pula dengan kartu-kartu voucher, keanggotaan perpustakaan kota, kartu diskon, dll. Belum lagi jika saya harus mengingat-ingat bahwa dompet itu adalah hadiah dari Teteh saya sebelum saya berangkat ke Jepang dua tahunan lalu, tentu sangat berarti sekali dompet itu buat saya.
Untungnya, pada saat itu saya tidak panik. Mungkin karena memang saya yang teledor ini sudah biasa kehilangan barang-barang, dari mulai jam tangan, mushaf Qur'an, gelang, dll, jadi saya merasa tenang-tenang saja. Tapi sebetulnya, dibalik penerimaan ini, ada sebuah pemahaman kuat yang mengakar dari Ayah saya tentang hakikat rezeki dan kehilangan. Ayah saya pernah bilang, rezeki itu ada masa berlakunya. Rezeki itu ada tanggal produksi dan tanggal kadaluarsanya. Barangkali justeru barang kita yang rusak atau hilang malah menjadi wasilah untuk ditangguhkannya musibah besar yang seharusnya datang.
"Néng, mun misal urang leungit duit, eta téh boa pédah sabenerna Allah rék ngirimkeun ka Néng musibah nu leuwih gedé. Ngan, bubuhan urang jalmana beuki sodaqah, ku Allah téh digantikeun éta musibah ku kaleungitan duit nu jauh leuwih hampang tibatan éta musibah."
―Neng, kalau misalnya uang kita hilang, bisa jadi sebenarnya Allah mau mengirimkan musibah yang lebih besar. Tapi karena kita suka bersodaqah, Allah menggantikan musibah besar itu dengan kehilangan uang yang jauh lebih ringan rasanya dibanding musibah itu.
―Neng, kalau misalnya uang kita hilang, bisa jadi sebenarnya Allah mau mengirimkan musibah yang lebih besar. Tapi karena kita suka bersodaqah, Allah menggantikan musibah besar itu dengan kehilangan uang yang jauh lebih ringan rasanya dibanding musibah itu.
Ini berarti, saya resmi menjadi pengembara papa. Tidak ada uang, tidak bisa lanjut jalan ke Tsukuba ke tempat Kak Aini senpai saya. Akhirnya Bu Pur menawarkan saya untuk tinggal di rumahnya lebih lama lagi. Hingga seminggu ke depan, saya diminta menemani keluarganya di waktu liburan ini sekadar membantu memasak, muraja'ah hafalan Ar-rahman, dan sekadar main saja dengan anak-anak. Di titik ini, saya merasa malu terhadap Pencipta saya. Bagaimana bisa saya dikasihi orang dengan kepedulian sebesar ini padahal saya dan Bu Pur baru bertemu dua kali. Walaupun bisa saja kalau saya tidak bilang kepada Bu Pur bahwa saya tinggal di rumah sahabatnya di Beppu, belum tentu beliau mau menampung saya di rumahnya sekarang ini.
Saya pun kemudian mencoba mengevaluasi diri. Barangkali memang ada kesalahan dari diri saya yang menjadi salah satu penyebab hilangnya dompet saya ini. Saya ingat-ingat lagi percakapan saya dengan Bu Pur di hari perlombaan beberapa hari lalu. Di hari itu, saya menolak tawaran Bu Pur untuk menggaji saya sebagai guru ngaji anak-anaknya, tapi sekarang uang saya lah yang malah hilang entah kemana. Saya juga menolak ajakannya untuk tinggal sementara di rumahnya, tapi sekarang Allah benar-benar menakdirkan saya untuk tinggal di rumahnya tapi dengan jalan yang bisa dikatakan tidak lebih mulia daripada menjadi guru ngaji, yaitu karena kehilangan dompet dan tidak punya bekal lagi untuk pergi kemana-mana! Subhaanallaah...
Di satu sisi, mungkinkah ini terjadi karena kesombongan saya? Atau memang sudah takdirnya saya harus tinggal di Chiba hingga beberapa lama lagi? Sekenario apa yang Allah ingin tunjukkan kepada saya jika saya tetap berada di dekat Bu Pur dan tidak pergi ke tempat senpai saya di Tsukuba?
2 komentar
Nda... Aku baca ceritanya dari episode pertama. Hehe.. Luar biasa ya jalan yang Allah kasih. Masya Allah. Rencana Allah selalu tak terbayangkan indahnya.
ReplyDeleteSelamat untuk rencana pernikahannya yaa. Barakallah.
Ditunggu episode selanjutnya. *berasa lagi baca novel* ;)
Wah senang banget 'ditengokin' penulis kece macem Kak Icha hehe. MasyaaaAllah, Allah emang nggak pernah kasih kita hal buruk ya, ternyata? Hehe.
DeleteEpisode 5 is out, Kak! Check it out! ^^