#UmairNidaNikah 3: Tokyo dan Impian

12:33 AM

"It's not only about giving the best to the present. Rather we have to make sure what we have been doing in the present is linked with what we will become in the future."
***


     Benar saja, rezeki saya ternyata hanya sampai di juara ketiga. Terlepas dari perkara hadiah berangkat Umrah, pengalaman lomba tilawah ini justeru memberikan saya banyak sekali pelajaran dan ukhuwah. Saya jadi punya perbekalan kalau-kalau tahun depan ingin unjuk gigi lagi di perlombaan yang sama. Saya juga jadi kenal banyak orang yang bekerja di bidang dakwah Islam yang ada di Jepang, khususnya Tokyo. Pengalaman dan ukhuwah ini jugalah yang memberikan banyak sekali gambaran tentang kelanjutan cita-cita saya di masa depan, selulusnya saya dari APU.


1-Mesir, 2-Malaysia, dan 3-Indonesia
     Sudah dari lama sekali pikiran saya disibukkan dengan banyak pertanyaan soal hakikat kebahagiaan, passion, cita-cita yang berbentrokan dengan keadaan, rencana selanjutnya setelah kelulusan, dan pertanyaan-pertanyaan sejenisnya. Fakta bahwa saya adalah anak pertama dari sebuah keluarga yang tinggal di desa, cukup membuat saya ketakutan jika apa yang saya dapatkan di kemudian hari masih kalah jauh dari apa yang sebenarnya diekspektasikan. Sementara, sisi keibuan saya belakangan ini malah memerintahkan saya untuk menjadi ibu rumah tangga saja, tetapi bukan ibu rumah tangga biasa melainkan ibu rumah tangga yang berhasil membesarkan delapan anak penghafal Qur'an. Aamiin. Namun di saat yang sama, saya juga perlu berpikir keras tentang bagaimana caranya supaya jadi ibu rumah tangga yang tetap berpenghasilan, agar jasa orangtua selama ini bisa terbayarkan dalam jumlah materi di setiap bulan yang saya kirimkan. Isn't this issue so much relatable to most young Indonesian?
     Kemudian tentang kebahagiaan. Bukankah setiap orang punya definisi kebahagiaan yang berbeda-beda? Tentu tidak salah jika ada orang yang meletakan standar kebahagiaannya pada nominal gaji tiap bulan, karir cemerlang di dunia perkantoran, atau pada banyak gelar di belakang namanya yang apik tersematkan. Pun tidak juga jadi masalah jika kebahagiaan sebagian orang yang lain terletak pada banyaknya anak yang dimiliki, asrinya pekarangan dan perkebunan di belakang rumah, dan bentangan sawah yang menguning-memanjang. Tapi yang menjadi masalah adalah, bagaimana jika definisi kebahagiaan saya, justeru berbentrokan dengan definisi kebahagiaan orang yang paling banyak berkorban untuk saya, dalam hal ini khususnya orangtua saya.
     Lewat pembicaraan dengan satu-dua orang teman dan senpai (senior) di pengajian mingguan yang ada di Beppu, saya sempat terpikir untuk menjadi pionir pembangunan Beppu Islamic Centre selepas lulus dari APU. Atau, sekadar menjadi pengajar Qur'an atau semacam pendakwah di daerah manapun yang ada di Jepang. Pokoknya pekerjaan apapun yang berada di bidang perkembangan Islam di negeri sakura ini. Terlepas dari pembicaraan soal agama dan ketuhanan, keinginan saya mengambil jalan dakwah di negara ini lebih kepada topik soal passion. Saya menganggap hal ini sebagai sebuah passion ketika saya sadar bahwa saya selalu bersemangat dalam mengurusi kegiatan yang ada di Taslima (Komunitas Muslim Oita). Lebih dari sekadar minat, hemat saya, passion juga bisa berbentuk semacam panggilan yang selalu datang di tiap kali saya bangun tidur, atau semacam energi yang melupakan saya pada rasa capek tiap kali saya bergelut dengan bidang yang saya hadapi. Sementara bagi saya, Masjid Beppu, Taslima, dan kegiatan mengajar tahsin dan tajwid mingguan, ada pada perihal ini.
     Pemikiran seperti ini semakin mengerucut ketika saya banyak menemui orang-orang di kampus saya yang hebat secara prestasi akademik, namun kebanyakannya kelimpungan ketika ditanyai tentang rencana masa depan apa yang akan mereka jalani setelah lulus dari APU nanti. Salah satu senpai panutan saya yang lulus bulan September lalu bahkan bilang begini, "Jujur sih awalnya gue mau lanjut S2 gara-gara belum punya mimpi yang konkret. Kalau udah ada, mungkin gue bakal ngelakuin itu..." Berarti bisa jadi, pilihan melanjutkan S2 pada mulanya hanya merupakan alternatif saja baginya. Saya juga pernah tidak sengaja membaca komentar yang ditulis oleh guru bahasa Indonesia saya di IC. Pada sebuah status Facebook miliknya, ia bilang begini kepada temannya, "Bener ya ternyata yang penting itu bukan rajin pas kuliah, tapi harus tahu mau jadi apa selesai sekolah..." Kemudian salah seorang dosen APU yang asli orang Indonesia ―Pak Dahlan namanya, pernah menyampaikan di materi pengajian bulanan Taslima bahwa kebanyakan (tidak semua) anak Indonesia di APU selalu merencanakan rencana mereka selanjutnya akan seperti apa, baru di sekitaran tiga bulan terakhir menuju kelulusan. Padahal menurut beliau, semestinya masing-masing dari kita sudah harus punya gambaran tentang visi dan peran apa yang akan kita ambil di masa depan. Barulah dari gambaran tersebut kita tarik sebuah garis lurus ke masa sekarang agar setiap apa yang kita lakukan saat ini bisa relevan dengan cita-cita kita pada gambaran tersebut. Itulah kenapa saya mengawali tulisan ini dengan quote yang artinya kira-kira berbunyi:

"Bukan hanya soal memberikan yang terbaik untuk hari ini. Melainkan kita harus bisa membuat apa yang kita lakukan di hari ini sejalan dengan apa yang kita cita-citakan di hari esok."

     Berangkat dari penyadaran tersebut, dalam sharing dengan rekan dan senpai satu pengajian waktu itu, salah seorang senpai menyarankan saya supaya kelak bersuamikan orang Jepang, agar nanti memudahkan banyak urusan saya soal dakwah dan perkembangan Islam di Jepang sini. Ia bahkan sampai mencetuskan ide pembikinan "Musu-Co", yang merupakan kependekan dari "Musurimu (Muslim) Coop"; sebuah food store modern sekelas Marushoku atau A-Price dimana keseluruhan produknya dijamin halal dan aman dikonsumsi oleh umat muslim di Beppu. Wah, ide yang bagus sekali. Jadi nanti orang Islam yang berbelanja ke Musu-Co tidak perlu menuju Halal Corner atau repot-repot mengecek ingredients di setiap produk yang akan mereka beli karena pada dasarnya seluruh produk yang dijual di Musu-Co sudah dipastikan kehalalannya, baik yang sudah berlabel halal atau pun produk-produk Jepang yang sudah dikonfirmasikan ke pabriknya tidak mengandung bahan yang haram.
     Anyway, kembali lagi kepada cerita saya tentang lomba tilawah, perjalanan ini adalah kali kedua saya menginjakan kaki di Tokyo. Perjalanan pertama saya ke Tokyo di musim panas tahun 2014 lalu, saya tujukan untuk berpartisipasi dalam konser sosial ke panti jompo, sekolahan, rumah sakit, dan tempat-tempat lain dengan choir group Musy Tone. Sekitar dua bulan setelahnya, saya pulang ke Indonesia karena ambil cuti kampus satu semester dimana saya mulai aktif menghafal Qur'an. Sekembalinya saya ke APU pada April 2015, saya kemudian memutuskan keluar dari choir group Musy Tone untuk menyelamatkan hafalan saya agar tidak terkontaminasi dengan banyak lirik lagu dan candu bermain musik.
     Lain dengan pengalaman sebelumnya, di musim dingin tahun 2015 ini, Tokyo memberikan saya banyak ilham dan pelajaran soal harapan di masa depan. Keberadaan saya di Tokyo Arabic Institute sekarang seolah menggambarkan banyak peluang bahwa sangat memungkinkan sekali bagi saya jika ingin berdakwah di Jepang selepas lulus S1 nanti. Sepertinya, memungkinkan juga kalau saya mau melamar pekerjaan sebagai staff di kampus bahasa Arab ini atau jika saya ingin mengikuti jalan dakwah orang-orang yang saya temui di hari perlombaan ini. Intinya, hari itu, tanggal 30 Desember 2015, saya merasa tercerahkan dengan banyak hal. Tercerahkan soal Tokyo dan impian.
     Tapi tentang bersuamikan orang Jepang... Memangnya ada orang Jepang yang Hafidz Qur'an?

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Contact Form

Name

Email *

Message *

recent posts

Subscribe