Meracau Soal Jodoh
4:55 AM
Tulisan di bawah ini saya buat dan selesai di hari yang sama tepat pada tanggal 25 Desember 2015, agak berjarak waktunya dari tanggal 9 Januari 2016; hari dimana takdir membawa saya bertemu dan berkenalan dengan seseorang yang sekarang sudah jadi fiancé saya. Ciyeh. Sampai hari ini pun, kepastian tentang apakah dia benar jodoh saya memang belum tentu 100% absolut, hingga tiba waktunya beberapa hari lagi untuk membuktikan masihkah Allah meridhoi rencana penyatuan kami di akad nikah tanggal 20 Februari nanti. Terlepas dari cerita pribadi saya, terlepas dari romansa cerita yang belakangan ini hadir, dalam kontemplasi saya pada tulisan di bawah ini, saya ingin membahas soal konsepsi tentang jodoh yang sudah lama menggelayuti pikiran saya selama ini. Barangkali bisa jadi ladang amal mungkin, kalau saya bagikan disini untuk sama-sama dihayati dan dipikirkan kembali?
Untuk tulisan sejenis, silakan baca tulisan sahabat saya klik disini. Selamat membuka mata!
***
1. Nama jodohku sudah tertulis dari ketika umurku masih empat bulanan di rahim ibu. Katakanlah namanya; Soleh. Berarti, bersatunya aku dengan Soleh adalah satu hal yang pasti. Ketetapan Allah tentang ia sebagai imamku di dunia, sudah otomatis menjadi janji Allah terhadapku semenjak hari itu. Tinggal Soleh sajalah nanti yang menggenapkan janji Allah tersebut dengan janji akad nikahnya yang Allah sebut dalam Al-quran termasuk ke dalam Mitsaqan Galizha. Berarti perkara nomor 1 ini masuk ke dalam urusan QADHA. Sepakat?
2. Lalu tentang bagaimana Soleh dan aku akan bertemu, tentang dalam keadaan seperti apa kami disandingkan, lewat cara halal yang Allah sukai atau lewat cara haram yang Allah tidak ridhoi kah kami berproses sebelum disatukan, bukan lagi ketetapan yang sudah digariskan dari dulu, melainkan ditetapkan dari usaha yang Soleh dan aku jalani. Berarti perkara nomor 2 ini termasuk dalam urusan QADAR. Sepakat?
3. Itu berarti, sampai tiba waktunya akad nikahku dengan Soleh terjadi, nama-nama yang sekarang muncul itu bukan nama-nama yang akan Allah ridhoi sebagai jalan takdirnya seorang aku kan? Berarti nama-nama yang sekarang hadir itu hanya bumbu-bumbu. Nama-nama yang mendesir di hatiku tiap kali aku melihat kesalehan mereka, kepintaran mereka, tampannya mereka, hanya akan jadi nama-nama yang tercetak di undangan pernikahan aku dan Soleh. Karena hakikatnya, yang datang dan pergi itu bisa seribu tapi yang pasti itu cuma satu. Betul?
4. Sementara itu, dalam waktu penantian ini, bagaimana bisa aku berdoa untuk nama lain selain Soleh jika Soleh lah yang jadi kepastianku? Bagaimana mungkin aku memohonkan nama lain untuk jadi pengganti Soleh kalau nama Soleh sudah dicatut dari zaman aku di rahim ibuku? Setega apa aku meniadakan eksistensi Soleh yang seberpisah dan sejauh apa pun kami sekarang ini, toh akan Allah persatukan juga nantinya denganku. Namanya juga jodoh. Betul tidak?
5. Jadi sekarang ini, dari pada sibuk mendoakan nama seorang pria yang belum pasti akan jadi jodohku, kenapa aku tidak sibuk saja untuk mendoakan Soleh? Kenapa aku tidak sibuk saja mendoakan diriku sendiri agar jadi seorang Solehah yang pantas bersanding dengan pangeranku; Soleh. Maka mulai sekarang ini, aku selalu berdoa hanya untuk Soleh. Hanya untuk yang pasti datang. Tidak perlu lagi berderai-derai galau karena cinta kepada seorang pria yang belum tentu Allah ridho atasnya. Dimana pun sekarang Soleh berada, semoga Allah mudahkan urusannya. Kalau sekarang ia sedang menulis skripsi/tesis/disertasi, semoga Allah mudahkan urusan skripsi/tesis/disertasinya. Kalau ia sedang di lepas pantai sebagai engineer minyak, semoga Allah ingatkan ia untuk selalu taat kepada-Nya dan tidak pernah lupa tinggalkan shalat. Kalau ia sekarang sedang merintis bisnis/usaha sebagai pengusaha muda, semoga Allah kenyangkan ia di masa sekarang dengan banyak kegagalan yang membuat ia lebih belajar tentang bisnisnya, supaya ketika ia disandingkan denganku, aku dan anak-anaknya hanya akan kebagian masa kejayaan bisnisnya saja. Kalau sekarang ia sedang belajar di Fakultas Kedokteran atau sudah menjadi dokter, semoga Allah ingatkan ia untuk selalu berikhlas hati bahwa profesinya sebagai dokter bertujuan utama untuk mengabdi pada umat, bukan faktor utamanya mendulang rupiah berlipat-lipat. Bahkan kalau sudah takdir-Nya Soleh itu adalah seorang pria yang bertahun-tahun lebih muda dariku, semoga Allah mudahkan ia menjalani banyak ujian sekolahnya dan mudahkan ia untuk masuk kampus yang akan mengantarkannya kepada kesuksesan dunia, dan yang juga bisa menjadikan orang tuanya bangga sebagai parameter kebahagiaan akhiratnya. Kalau ia sekarang sedang menghafal 1/3 awal Al-quran, semoga Allah mudahkan ia untuk sampai finish agar genap hafalan 30 juznya, supaya nanti aku dan dia bisa saling tukar menukar setoran muraja'ah. Sungguh, saling men-tasmi' hafalan Al-quran seperti itu, merupakan bentuk romantisme paling berkah menurutku. Semoga Allah juga menjaganya dari fitnah wanita, menjaganya dari sentuhan tangan perempuan lain yang bukan mahramnya, bukan karena aku akan cemburu jika tahu ia melakukannya, melainkan karena aku tidak mau ia pergi ke neraka. Terakhir, semoga Allah juga mengingatkan ia untuk mendoakan Solehahnya disini.
6. Sekarang, marilah ambil lagi lagi nama "Soleh" yang aku berikan kepada calon suamiku. Dia akan jadi anonim. Itu berarti, dia tidak diketahui. Intinya, segala hal/informasi tentangnya masih belum pasti dan tidak diketahui secara detail. Allah hanya menjanjikan dalam Al-quran bahwa yang baik untuk yang baik lagi. Jodoh itu akan jadi cerminan diri, katanya. Berarti sebetulnya informasi tentang "Si Mas Anonim" itu tercermin padaku. Kalau begitu, harus akulah yang aktif membaguskan apa-apa yang ada pada diriku. Supaya informasi tentang diriku yang akan tercermin dalam kepribadiannya bagus juga didapati. Wah, akan lebih hebat lagi jika "Si Mas Anonim" ini juga berfikir hal yang sama sepertiku. Berarti dia sedang membaguskan juga dirinya supaya informasi yang ia dapati tentang aku sebagai "Si Mbak Anonim"-nya, sama-sama bagus juga. Maka keadaan seperti ini sudah seperti berlomba-lomba dalam kebaikan yang kedua kompetitornya saja tidak saling tahu siapa 'lawan'-nya tapi ada Allah dan malaikat-Nya yang menjadi juri dan wasitnya. Hihihi. Coba bayangkan, ketika tiba saatnya Allah mengumumkan kapankah waktu terbaik bagi kami berdua untuk dipersatukan, sungguh, betapa berkah pernikahan kami kelak karena sebelumnya kami hanya disibukkan untuk memperbaiki diri lagi, lagi, dan lagi. Ah... Romantis sekali ^^
Seseorang téh nya kuring ogé sih sabenerna mah |
6 komentar
subhanallah... kakak, ijin share yaa... kenalin, aku anak ic angkatan dua puluh. temennya fariza hehe
ReplyDeleteWah, silakan Dek. Semoga bermanfaat. Salam dari saya untuk Fariza ya!
DeleteRomantis sekali
ReplyDelete^^
Deletelangsung jatuh cinta nih sama tulisannya kakak pas pertama kali baca 😊
ReplyDeleteTerimakasih, Irena! Saya juga langsung jatuh cinta sama apresiamu ^^
Delete