Berawal dari series #UmairNidaNikah, akhir-akhir ini saya jadi punya banyak kenalan baru yang entah bagaimana caranya bisa sampai ke blog ini. Bagi saya yang maniak post-crossing, kesempatan punya banyak teman di berbagai tempat membuat daftar alamat penerima postcard kiriman saya memanjang, pun jadi semakin besar pula kesempatan saya menerima postcard dari makin banyak orang. Postcard kali ini datang dari Elfira asal Sidoarjo, yang pertama kali menyapa saya di laman komentar sebuah post di blog ini. Terima kasih Elfira! Postcard kamu sangat spesial buat saya :")
Setelah mendapati postcard dari Deria yang rusak karena tidak sengaja ditempati panci panas di atasnya oleh Ibuk saya (klik disini), kali ini giliran postcard dari London kiriman Mbak Alif yang juga ikut-ikutan rusak. Bedanya, postcard dari London ini sudah tidak utuh dari sananya, jadi saya cukup terkejut, sedih, sekaligus tertawa juga ketika mengambilnya sendiri dari kotak pos depan rumah. Sedih banget sebetulnya, tapi lucu juga.
Omong-omong, Mbak Alif ini lulusan APU program S2 tahun 2014 lalu. Ketika masih di Beppu, Mbak Alif biasa kumpul dengan saya, Kak Fatma, Kak Zakiyah, Ibuk, Mbak Nana, dan Mbak Shanti untuk ikut kelas tafsir hari Sabtu di Masjid Beppu. Kami juga sering jalan-jalan bareng, dan selain daripada saya yang pada saat itu kondisi keuangannya masih tidak stabil, mereka juga mengadakan arisan sebagai media menabung dan kumpul-kumpul untuk makan bersama. Sekarang, Kak Fatma dan Kak Zakiyah a.k.a Mbak Jeki sudah lulus dari APU sekitar dua tahuan lalu. Kak Fatma sudah menikah bulan Februari lalu sementara Mbak Jeki baru tahun ini selesai menjalankan tugasnya menjadi guru di pelosok negeri selama setahun penuh lewat program Indonesia Mengajar. Mbak Shanti juga sudah lulus setahun lalu dari Oita Nursery College dan sudah lahiran anak ketiga di Indonesia beberapa bulan ke belakang. Anak ketiganya ini adalah anak perempuan pertama Mbak Shanti dan suaminya, Mas Hari, yang ketika Mbak Shanti masih tinggal di Oita untuk menuntut ilmu, Mas Hari juga ikut tinggal disini bahkan menjadi pengurus utama Taslima (Komunitas Muslim Indonesia Oita). Mbak Nana masih mengejar program doktoralnya di Oita University, tapi akhir-akhir ini sering pulang ke Indonesia dalam waktu lama untuk cuti karena beberapa urusan. Sementara Mbak Alif sendiri? Mbak Alif yang setelah kelulusan S2-nya dari APU kembali ke Indonesia, kemudian diajak suaminya ke Inggris untuk menemani sang suami kuliah lagi disana.
Ah, hidup...
Sekarang kita dimana, besok kita dimana.
Sekarang sedang menjalankan apa, besoknya lagi sedang membangun mimpi yang baru lagi.
Benar ya, ternyata? Bahwa hidup itu pada hakikatnya adalah persilangan takdir banyak orang.
Setiap nikmat pertemuan dan lingkaran pertemanan juga ada masa berlakunya, ada batasan waktunya sendiri walau ukhuwahnya tidak akan pernah kadaluwarsa.
p.s.: yang ingin kepoin blognya Mbak Alif, silakan klik disini
Butuh waktu lama untuk pada akhirnya saya membubuhkan sedikit tulisan di postingan tentang postcard dari Kak Fitri ini. Alasannya karena di momen-momen tertentu, saya selalu gelagapan dan hilang kata tiap berbicara kepada atau tentang orang yang sangat dekat dengan saya, termasuk salah satunya Kak Fitri. Boleh dibilang, saya suka 'sebal' karena Kak Fitri terlalu baik pada saya sementara saya tidak mampu membalas dengan perhatian atau hadiah serupa. Kak Fitri selalu ingat hari ulang tahun saya, memberi saya kado, dan hal-hal spesial lain yang saya rasa tidak hanya kepada saya saja dia membagikan bentuk kasih sayang seperti itu. Saya 'sebal' atas ketidakmampuan saya berbagi perhatian kepada orang sebagus itu. Saya merasa terlalu dispesialkan untuk menjadi seseorang yang sebegini remehnya. Saya merasa sungkan atas ini dan itu. Tapi barangkali, sedikit doa tidak luput saya panjatkan tiap ingat Kak Fitri, semoga apa yang dimau tapi tidak didapatnya membuahkan pelajaran dan apa yang dimau dan sedang diusahakannya membuahkan keberhasilan. Aamiin. Salam sayang dari saya, Kak!
Postcard di atas ini saya terima dari seorang Deria Pratiwi. Saya dan Deria sebetulnya tidak pernah berkenalan secara langsung. Tapi kami saling mengenal pertama kali lewat seorang teman saya di karantina menghafal qur'an Hamasah batch kedua, namanya Ahla asal Batam. Ahla ikut lagi karantina tersebut di batch ketiga sementara saya sudah kembali kuliah di Jepang pada saat itu. Di karantina batch ketiga itulah Ahla kenal dengan Deria, salah satu peserta yang berasal dari Bekasi.
Tiba-tiba suatu hari, Deria mengirim saya pesan di Facebook kalau dia terkesan dengan kisah saya di blog ini. Kami pun kemudian berteman di media sosial tersebut, lalu saya tawari Deria untuk kirim-kiriman postcard. Sayangnya, saat postcard Deria sampai ke rumah saya, Ibuk saya yang menaruh postcard tersebut di atas sebuah rak dekat dapur sebelum sempat diberikan dulu postcard itu ke tangan saya, sehari setelahnya tidak sengaja menaruh panci panas di atas rak tersebut. Wah, sedih banget sebetulnya. Tapi apa boleh buat, namanya juga enggak disengaja, tentunya saya lah yang harus maklum. Akhirnya saya beranikan bilang ke Deria kalau postcard darinya rusak dan enggak bisa terbaca sama sekali tulisannya, huhu. Maaf ya, Der...
Alih-alih kecewa, Deria justeru menawari satu postcard lagi untuk saya! Yeay! Pastinya saya janjikan juga untuknya dua balasan postcard sekaligus yang saya kirim dari Beppu. Thanks, Der! Semoga kita bisa ketemuan ya, kalau saya pulang ke Indonesia ^^
Postcard dengan desain unik ini datang dari Kyoto dan dikirim oleh Kak Maryam, seorang kakak kelas zaman Aliyah yang kepribadiannya panutan banget deh. Pembawaan Kak Maryam itu selalu adem, berpenampilan rapi, dan sholehah pastinya. Saat ini Kak Maryam sedang ada di Kyoto untuk program exchange selama beberapa bulan ke Ritsumeikan University dari kampusnya di ITB, Bandung. Sayang banget nih, walaupun saat ini Kak Maryam lagi di Jepang, kami enggak bisa saling ketemuan karena jarak Kyoto-Beppu yang lumayan jauh. Untuk bisa sampai ke Kyoto, saya harus pakai ferry dengan ongkos yang banyak atau beli tiket pesawat. Semoga bisa dipertemukan di kesempatan yang lebih baik kelak.
![]() |
google treasure |
Japan, Indonesia, Korea, US, Netherlands, Malaysia |
Japan, Indonesia, Europe, US |
US, Indonesia, Japan |
Japan, Indonesia, US, Riga, Korea |
Akhir-akhir ini, saya lebih perhatian dengan salah satu widget di laman blog saya. Dari sini, saya bisa melihat dari mana sajakah para pembaca blog saya berasal. Sehingga kalau muncul beberapa lokasi yang sangat spesifik sekali, saya bisa menebak-nebak siapa orang yang sedang berkunjung ke blog saya. Misalnya ketika muncul bendera Indonesia pada widget ini dan spesifik dari Jember, saya mulai menebak bahwa itu mungkin Arifah yang sedang berkunjung ke blog saya. Arifah adalah teman saya yang belajar di FK Universitas Negeri Jember. Sementara kalau tempat-tempat lain di Indonesia, seperti Bandung, Jakarta, Bogor, Yogyakarta, Jambi, Semarang, Tangerang, dll, di daerah-daerah itulah hampir kesemua teman saya berada sekarang, jadinya tidak bisa menebak siapa kira-kira yang sedang baca. Kalau tiba-tiba muncul bendera Egypt, saya bisa cenayang bahwa itu adalah Mboke; teman saya yang bernama asli Itta dan sedang menuntut ilmu di Al-Azhar, Cairo. Atau ketika muncul pembaca dari Hannover, Germany, saya bisa menebak-nebak bahwa itu adalah Tio; teman saya yang sedang ambil program S1 jurusan teknik disana dan kemarin menyengajakan datang ke Jepang untuk menghadiri acara akad nikah saya di Tokyo :") Tapi namanya juga tebak-tebakan alias sotoy, kemungkinan salahnya lebih besar ketimbang akuratnya. Hehe.
Selain daripada tempat-tempat spesifik itu, kebanyakannya adalah tamu yang tidak mudah diidentifikasi siapa gerangan yang tengah datang dan menikmati tulisan saya dibalik layar komputernya. Terlebih karena jarang juga ada yang meninggalkan komentar di tulisan yang saya unggah, jadilah bendera-bendera yang melintas di aplikasi ini hanya menyisakan saya rasa penasaran untuk lebih mengenal mereka secara personal, tanpa tahu nama atau mengetahui bagaimana komentar/tanggapannya terhadap apa yang saya tulis di blog ini. Setiap hari, selalu ada saja visitor yang datang dari luar Jepang dan Indonesia, membuat saya sangat geregetan untuk menyapa duluan dan memalak minta dikirimi postcard. Haha. Karena mengirim postcard ke Indonesia dan daerah lain di Jepang sudah sangat sering bagi saya, makanya saya mupeng banget kalau bisa mengoleksi postcard dari belahan bumi lain saat bendera yang muncul di widget ini adalah bendera Amerika, Korea, Mesir, Islamabad, Saudi, Malaysia, Taiwan, Hong Kong, China, Dubai, Jerman, Belanda, Turki, dan kemarin ada juga pembaca dari Riga; nama negara yang cukup asing bagi saya. Tapi saya yakin sih, meskipun mereka datang ke blog saya dari berbagai negara, mereka-mereka yang baca adalah orang Indonesia yang mungkin sedang merantau ke luar negeri juga sama seperti saya. Kenapa saya tahu? Karena biasanya mereka muncul di widget ini dari sebuah link yang langsung menuju ke sebuah tulisan berbahasa Indonesia dengan judul berbahasa Indonesia pula, bukan malah tertaut ke home blog ini. Jadi bisa diasumsikan bahwa orang tersebut adalah orang Indonesia atau setidaknya faham bahasa Indonesia dengan baik.
Maka kepada siapa saja pembaca blog saya yang tertarik berkirim postcard dengan saya, jangan sungkan-sungkan untuk kirim duluan dan sertakan alamat lengkap plus nomor ponsel pribadi agar saya bisa balas postcard kalian ya! Selain sebagai hobi, bagi saya, korespondensi lewat postcard itu sudah hampir seperti ambisi pribadi yang agak akut. Dalam setahun, saya punya budget tersendiri untuk mengirimkan postcard ke berbagai tempat. Dalam setahun, saya bisa mengirimkan postcard sebanyak 50 lembar ke 50 orang berbeda. Sekadar berbagi cerita, pertama kalinya saya familiar dengan postcard, perangko, dan korespondensi bermula sejak saya masih SD saat masih berlangganan Majalah Bobo. Hingga akhirnya saya terbang ke Jepang pada September 2013 dan mulai mengakrabkan diri lagi dengan benda yang satu ini. Ternyata saya jadi sangat keranjingan dengan hobi ini sampai sekarang. Targetnya, pada tahun 2020 nanti, saya sudah berhasil mengirimkan dan menerima postcard ke dan dari 100 negara berbeda. Lalu nanti saat sudah punya anak, saya bakal 'pamer' koleksi ratusan postcards saya ke mereka. Saya akan ajak juga anak-anak saya menekuni hobi ini kalau mereka berminat. Bagi saya, hobi ini adalah salah satu sumber kebahagiaan sederhana yang selalu berhasil membuat saya merasa spesial tiap kali saya menerima selembar postcard dari siapa saja, juga ketika penerima postcard kiriman saya tiba-tiba melapor via Line atau Messenger bahwa mereka sudah terima postcard dari saya.
Anyway, sebagai yang punya lapak, saya penasaran banget siapa saja silent reader yang mampir ke blog saya ini, maka silakan tinggalkan jejak supaya dapat kenal atau sekadar saling sapa saja. Barangkali saya juga bisa mampir ke blog teman-teman dan kita bisa saling tebar manfaat lewat tulisan masing-masing. Tapi terlepas dari perkara postcard dan meninggalkan jejak di kolom komentar, saya sangat berharap bahwa sedikitnya tulisan-tulisan saya di blog ini dapat memberikan manfaat kepada yang membacanya. Semoga bisa memunculkan inspirasi barang sedikit. Karena kita tidak pernah tahu amalan apa yang akan jadi pemberat timbangan akhirat kita kelak. Selamat membaca dan terus berkarya! Saya tunggu kiriman postcard-nya! *teuteup*
Walaupun blog ini masih terbilang
baru, sebetulnya saya sudah mulai menulis blog di saat masih bersekolah di
Insan Cendekia dengan "Iteung and Vanilla" sebagai blog
pertama saya. Saat itu saya banyak terinspirasi oleh Diana Rikasari dan Evita Nuh; dua fashion bloggers
kenamaan Indonesia yang pertama kali saya tahu lewat majalah Gogirl! pinjaman
dari teman saya, Muthi. Karena merasa terilhami, maka
sebagai remaja yang ingin menyalurkan kreativitas dan kebebasan berekspresi
lewat cara berpakaian islami yang lebih stylish, akhirnya dibuatlah
blog tsb. Didukung dengan keberadaan kamera DSLR Nikon D3100 yang saya punya
dan kesediaan beberapa teman satu asrama yang mau menjadi model photoshoot
saya, lahirlah sebuah fashion blog yang pada masanya sangat saya
bangga-banggakan.
Di masa-masa itu, saya menulis blog
bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk memamerkan karya-karya saya
bak seorang seniman yang sedang menggelar eksibisi. Saya cukup terbilang
idealis dengan menjaga content blognya supaya tidak diary-ish.
Tapi lama-kelamaan, saya merasa ternyata menulis blog supaya dibaca orang dan
dibilang bagus serta dihargai itu malah membuat saya jadi tidak produktif untuk
menulis. Saya jadi terbelenggu banyak aturan yang saya buat-buat sendiri. Toh
ternyata, hampir semua blog yang saya follow juga kebanyakannya
menceritakan kisah sehari-hari mereka dan pengalaman-pengalaman pribadi. Kalau
saya saja enjoy membaca blog mereka yang diary-ish, lalu
kenapa saya mesti keukeuh untuk tidak membiarkan diri saya menceritakan sisi
personal saya juga? Barangkali akan ada banyak orang yang malah terinspirasi
dengan cerita yang saya tulis padahal tujuan awalnya hanya sebagai memori
penyimpanan momen dan hikmah-hikmah berharga saja. Maka sejak saat itulah blog
ini lahir dan ternyata betul, saya merasakan kebahagiaan menulis yang lebih enjoy
sekarang.
Ada satu tulisan dari Evita Nuh
tentang blogging yang ngena buat
saya; "What comes from heart will attract people." I
felt I was like slapped right on my face. Dari tulisannya itu, intinya kita diajak untuk jujur
terhadap diri sendiri. Tentang bagaimana menyajikan tulisan untuk
dipersembahkan sebaik-baiknya kepada kita sendiri sebagai pembaca pertamanya.
Wah, saya jadi mikir tentang those
times I let them go without freezing any moments to post on my blog. Huh. Ada lagi satu quote tentang kepenulisan
yang cukup eyes-opening; "If you write because you want people read your writings, then you
are not a writer. Write because you feel it is needed for you to write. Write
because you just want to write." As
the sum up, let me say in short; "Write for yourself. Not for other
people's expectations."
Ternyata setelah menulis di blog ini
tanpa terlalu mempedulikan siapa yang akan membaca, malah banyak sekali
apresiasi yang datang kepada saya tanpa disangka-sangka. Secara statistik, viewers
blog ini sudah mencapai 26300-an per hari ini, padahal umur blog ini masih
seumur jagung dibandingkan umur blog lama saya yang sudah lima tahunan tapi viewers-nya
masih 21000-an. Banyak juga teman yang bilang bahwa mereka menantikan
kelanjutan #UmairNidaNikah yang ke-7, sampai ada satu teman saya yang bosan
ditanya terus oleh teman-teman kampusnya tentang bagaimana kisah saya dan Umair
bisa berlanjut sampai tahap pernikahan. Haha. Guru wali asrama saya di
Insan Cendekia, Bu Novi, bahkan membacakan beberapa tulisan
blog saya kepada anak-anak kelas XI, untuk dijadikan cerita hikmah katanya. Dan
yang paling mengharukan adalah postcard dari Depok yang saya terima
tanggal 11 April kemarin. Sebuah postcard yang datang dari pembaca blog
saya yang bernama Jasmine dan mengaku terinspirasi sehabis membaca tulisan saya
berjudul "Meracau Soal Jodoh". Ah... Terharu
sekali rasanya ketika pertama kali memegang postcard ini. Postcard
adalah salah satu source of happiness saya nomor wahid, maka membayangkan Jasmine menaruh effort untuk mencari selembar postcard
ke sebuah tempat, membelinya, pergi ke kantor pos untuk mengirimkan postcard ini
untuk saya serta mengeluarkan rupiah untuk biaya perangkonya, telah sukses membuat
saya merasa terapresiasi luar biasa. Beneran seneng dan terharu banget
:")
Dear, Jasmine... Saya akan senang banget kalau saya bisa
balas postcard dari kamu ini. Tapi sayangnya, sepertinya kamu lupa tulis
alamat lengkap rumah kamu nih, hihi. Semoga kamu baca postingan saya
ini, ya! Hubungi e-mail saya di khansanazihah@gmail.com untuk kasih saya
alamat lengkap rumah kamu dan nomor telepon yang bisa dihubungi supaya postcard-nya
nanti nggak nyasar, hehehe. Terimakasih dan salam kenal untuk kamu,
Jasmine! Love from Beppu <3
PS: Untuk siapa pun yang ingin kirim-kiriman postcard
sama saya, ditunggu ya! Jangan lupa tuliskan alamat lengkap dan nomor ponsel pribadi (khususnya untuk yang mengirim dari Indonesia). InsyaaaAllah saya selalu balas postcard
kirimannya ^^
Her name is Chisato; a Waseda Uni girl I met in the same train when I was heading to Narita Airport to fetch Ayah and Mamah that coming to Japan for my wedding ceremony. Yet, Chisato was going for her holiday trip to the US. We went to a nice conversation after I started asking her, whether it's the right train going to the airport or not. She's really nice! She even let me to put down my head on her shoulder when I told her that I was so sleepy. It's quite rare to find a Japanese that talks to strangers without worries, especially a stranger like me who wears scarf and looks different than how commonly people look. We shared each other's stories about what is our coming to Narita for, then it turned out her to finally know that I was going to hold my wedding ceremony really soon. Of course she's freaked out and congratulated me right away. When I asked her to send me a postcard from the US, she answered with yes for sending me one but couldn't promise if she'd be able to send it from the US due to the tight schedule planned. Then here came today; a hologram postcard bought from Walt Disney World in Orlando, lovely sent from Tokyo. Thank you for the postcard, Chisato! I'll definitely send the reply for you!
Bias
cahaya- suara udara
Gemericik
canda- dan semerbak suka dukanya.
Assalamu’alaikum
warahmatullah wabarakatuh, Nida Khansa Nazihah. Sebelum kemana-mana, izinkan
aku mengabarkan padamu tentang satu hal: bahwa sebelum ini, aku tahu suatu saat
akan menuliskan ini untukmu. Dan kurasa minggu ini adalah momen yang tepat.
Selain karena dalam hitungan puluh jam lagi kamu akan melangsungkan pernikahan,
saat ini aku tengah duduk di tengah-tengah perpustakaan. Bertemankan segelas
teh tarik green tea dan keadaan dimana wifi perpustakaan statusnya limited
access. Aku sebenarnya hendak mengerjakan sesuatu. Lalu seperti mahasiswa
lainnya, entah bagaimana seperti memiliki ketergantungan pada makhluk bernama
internet.
Kuharap
kamu tidak kecewa. Bahwa ternyata aku menuliskan ini seakan seperti berada pada
waktu-waktu sisa. Sebenarnya tidak juga sih, Nda. Ada beberapa hal yang ingin
aku sampaikan. Dan pada minggu-minggu belakangan, sedikit banyak mendominasi
perenungan-perenunganku dalam keseharian.
Kalau
beberapa hari lalu kamu bilang bahwa kebanyakan orang memandang perjalananmu
dari segi romansanya saja, maka izinkan aku mengabarkan apa yang terngiang
dalam kepala. Sudah aku kabarkan kepadamu kisi-kisinya beberapa waktu lalu, “…Dari cerita Nda, aku belajar
bahwa pembersamaan itu bukan semata penyatuan dua insan, melainkan kolaborasi
mimpi, harap, dan cita-cita yang selaras untuk peradaban.” Tentang cita-cita. Tentang mimpi.
Tentang harapan.
Aku
pernah ditampar dengan kalimat seperti ini: Kamu pandai membesarkan orang, tapi
pincang dalam membesarkan dirimu sendiri. Kamu sukses menghargai orang, tapi
miskin menghargai dirimu sendiri. Kamu tahu apa yang harus orang lakukan atas
cita-cita dan mimpinya, pandai membesarkan hatinya, tapi tersesat dalam
mendorong dan memotivasi diri sendiri. Entah kenapa, aku merasa ditampar
habis-habisan.
Selama
ini, aku seringkali memandang dunia sebagai sebuah sistem dimana aku menjadi
penonton. Aku terlibat, namun tidak utama. Aku bersinergi, namun tidak terlalu
penting mengambil bagiannya. Seperti aku diciptakan untuk menyemarakkan
kisah-kisah orang di sekelilingku. Rasanya seperti harapan terbesarku adalah
membantu orang lain menggapai harapan-harapan mereka. Aku main film, tapi di
belakang layar. Kurang lebih begitu. Meskipun pada kenyataannya aku tahu, boleh
jadi aku tidak banyak membantu.
Maka
sebenarnya kalau boleh jujur, aku juga dibuat heran dengan diriku sendiri.
Bukan hanya soal cita-cita dan mimpi, bahkan sampai urusan suka-sukaan
sekalipun. Hha J Kamu pernah mengataiku aneh. Di bawah
langit Bogor, ketika kamu menginap di kostanku saat itu. “Aneh banget sih, Riz
kamu itu…” dan seterusnya. Aku tidak begitu peduli dengan eksistensiku. Entah
siapa yang mengajari, tapi seperti kepentinganku adalah mementingkan orang
lain. Itulah sebab, aku selalu saja merasa perlu berterima kasih pada
orang-orang tertentu yang cukup tega memarahiku. Kadang-kadang, kamu mungkin
salah satunya.
Belakangan
aku jadi curiga pada diriku sendiri. Jangan-jangan selama ini, kebaikanku hanya
kedok kemalasan dan ketidakpercayaan diri yang terbungkus cantik. Bahkan aku
lebih memilih mendengarkan cerita teman-teman dibandingkan belajar untuk ujian
besok. Tapi di sisi lain aku juga menjawab bahwa; “Hei, hidupmu ini sebentar
sekali. Lebih baik meninggalkan jejak pada hati manusia dibanding sibuk
berjuang untuk diri sendiri lalu tidak meninggalkan apa-apa.” Kadang, seseorang
yang paling tidak kita mengerti adalah diri kita sendiri. Itu yang aku rasakan.
Kalau kamu tahu sesuatu dan punya waktu, jangan lupa kabarkan padaku, ya.
Lalu
aku melihatmu. Hei, kamu begitu terlihat bersemangat bicara tentang dirimu.
Bukan, bukan narsisme. Melainkan kamu begitu peduli pada eksistensimu sebagai
hamba. Apa yang akan kamu lakukan, masa
depan seperti apa, apa yang kamu benar-benar inginkan. Kamu bisa menaruh sikap
secara jelas dan tegas. Kamu bisa memutuskan apa yang hendak kamu berlakukan
pada dirimu sendiri. Kamu meletakkan dirimu sebagai sesuatu yang
sungguh-sungguh penting. Sementara aku bahkan bertanya-tanya kepada Tuhan,
“Apa sungguh, Kau ciptakan aku cukup untuk menjadi penggembira saja?” bahkan
ketika kamu begitu sering bicara tentang masa depan, tentang nanti jika kita
sudah punya keluarga, tentang dongeng, atau tentang apapun, aku tidak tahu
kenapa, seperti tidak menemukan ada aku disana. Bukan pesimis, hanya sebuah
perasaan damai bahwa ‘entah apakah waktuku sampai atau tidak’.
Lalu
kembali ke kisah perjalananmu. Aku sungguh
tidak menitikberatkan pada romansa atau hal semacam itu. Melainkan aku
menemukan suatu bentuk penghargaan diri yang sederhana namun mulia, bahwa diri
kita harus dihargai sebaik-baik harga, dengan melakukan usaha, upaya, ikhtiar.
Nda, aku menjumpai satu hal yang ternyata pahit. Aku tidak mudah percaya pada
kepercayaan orang lain kepadaku. Lebih tepatnya aku tidak benar-benar percaya
kepada diriku sendiri. Kalau kamu mengerti dan punya nasihat untukku, kuharap
kamu berkenan menyampaikannya. Karena aku tahu, ini penyakit sekali. Aku sempat
begitu memikirkannya. Kalau ada seseorang yang benar-benar datang kepada ayah
untuk memintaku agar membersamainya, bagaimana bisa aku pergi dengan keadaan
tidak percaya pada kepercayaannya, sementara pembersamaan itu adalah separuh
agama? Aku tahu ini harus dibenahi.
Lalu
kembali ke kisah perjalananmu. Aku ingat kamu pernah bilang begini, “Ris,
kenapa ga bilangin Nda dari dulu sih?” dan juga yang ini, “Ris, kayaknya
orang-orang yang pernah Nda zalimi ngedoain Nda deh. Makanya Nda dapet
hidayah”. Sebuah pemikiran
luar biasa. Benar ya, Nda. Bisa jadi kita berada dalam kebaikan-kebaikan berkat
doa-doa yang tidak lain hadir dari para insan yang kita zalimi. Lalu Allah
ijabah. Sampai titik ini, aku
selalu selalu merasa takjub betapa Allah selalu memaksaku bertemu dengan
orang-orang baik. Memaksaku mendapatkan pengalaman-pengalaman baik. Termasuk
bertemu dan mendapat cerita darimu. Terimakasih.
Lalu
kembali ke kisah perjalananmu. Aku kenal Nda, di kelas X. Kita mulai banyak
berbincang ketika Nda main ke kamarku. Lalu aku bilang-bilang bahwa aku punya
indera ke-6. Lalu kita saling membanguni tahajud. Padahal jarak kamar kita
terbilang jauh. Lintas gedung. Lalu entah sejak kapan kamu memanggilku ‘kendi
air mata’. Sebuah panggilan yang diam-diam aku rindukan. :’) kalau
difikir-fikir heran juga bagaimana dulu kita sering bincang-bincang, ya?
Sekelas juga nggak pernah -apalagi sekamar. Aku ingat sekali, pernah ketika itu,
aku berdoa pada-Nya, pingin dipeluk. Lalu aku berjalan ke masjid. Disana ada
Nda, dan Nda serta-merta memelukku. Allah menjawab doaku kontan melalui
tanganmu. Kita diam-diam dekat (eh iya nggak sih? Hha) bahkan Zahra sampai
bertanya seperti ini padaku suatu saat, ketika kamu memintanya untuk mengajakku
mengantar ke bandara untuk keberangkatanmu ke Jepang. Kata Zahra, “Ris, lo
sebenernya ada apaan sih sama Nda?” lalu aku hanya tertawa. Tidak tahu harus
menjawab apa.
Lalu
kembali ke kisah perjalananmu. Aku ingat perbincangan di detik-detik terakhir
sebelum kamu memberitahuku kabar membahagiakan itu. Kamu ‘memarahiku’ –jika
berkenan kukatakan demikian. Diawali dengan pertanyaan “Boleh nggak sih Ris
menyatakan perasaan?” lalu disusul dengan rentet pernyataan yang hiperbolanya,
menyayat hati. Sungguh. “Gini ya, Ris. Emangnya kamu fikir gampang jaga iffah
sama izzah disini? Emangnya kamu fikir gampang, pakai rok terus disini?
Emangnya kamu fikir gampang, murajaah disini?” lalu aku angkat bicara. Tidak
menjawab pertanyaan retorismu, melainkan kembali melemparkan pertanyaan. “Oke,
jadi permasalahannya dimana?” skip. Aku tidak akan menceritakan panjang lebar
bagian ini. Lagipula kamu bisa cek langsung obrolan kita. Aku hanya ingin
bilang, terimakasih untuk semua pertanyaan itu. Terimakasih untuk menamparku
dengan kata-katamu. Terimakasih karena sukses membuatku berfikir mendalam.
Bahkan hingga meninjau ulang keinginan untuk S2 di luar Indonesia jika tanpa
mahram. Oh mungkin ada baiknya ikut saran orangtua untuk fast track disini saja.
Lalu
kembali ke kisah perjalananmu. Mungkin kamu tidak pernah tahu ke berapa orang
aku menceritakan kisahmu. Untuk yang satu ini, maafkan aku. Semoga kamu
memaafkanku. Semoga kamu tidak keberatan. In syaAllah ada hikmah yang bisa
dibagikan kepada orang lain melalui kisahmu. Kadang memang begitu, kan? Kita diberikan skenario hidup yang
sengaja dibuat sedemikian rupa agar bisa diambil pelajarannya. Kadang kita dibuat tersesat untuk
menjadi jawaban atas doa saudara kita yang lainnya. Seperti kisah Imam Ahmad
yang kehilangan arah dan berjumpa dengan seorang tukang roti. Tukang roti itu
terus beristighfar sepanjang melakukan aktivitasnya, hingga Imam Ahmad
bertanya, “Apa yang membuatmu terus beristighfar seperti itu?” lalu jawab
tukang roti, “Istighfar menjadikan segala pintaku diijabah Allah. Hanya satu
yang belum Dia jawab, ialah keinginanku untuk bertemu dengan Imam Ahmad.”
Allahu Akbar! Betapa dahsyatnya kausalitas yang Allah skenariokan.
Lalu
kembali ke kisahmu. Maka dari itu, sebenarnya
mudah saja bagi Allah untuk mempertemukan Nda dengan si Soleh biar ia di ujung
dunia sekalipun. Tapi Allah sengaja membiarkan episodenya berjalan begitu seru.
Kadang terasa begitu berliku, dan penuh dengan pertanyaan. Untuk diambil
pelajaran. Bukan melihat hasil dan tujuan, melainkan bagaimana apiknya Ia
menyediakan berbagai hikmah dan pelajaran pada setiap kesempatan. Aku tahu kamu lebih tahu akan hal ini.
Nda,
sejak halaman kedua ditulis, aku tidak menulisnya di perpustakaan. Tapi malam
hari di Rumah Qur’an usai kegiatan KBM berlangsung. Ada satu permohonan dariku,
kepadamu. Yang aku mohon dengan sungguh-sungguh. Mohon doakan aku pada hal yang
baik-baik. Lalu jika di syurga tidak kamu jumpai aku, mohon tanyakan pada Allah
dimana keberadaanku. Mohon cari aku. Kalau takut lupa, kuharap kamu berkenan
membawa permohonan ini dalam doamu.
Aku
tidak tahu harus bilang apa lagi. Aku, sejak beberapa bulan lalu
sungguh-sungguh ingin memelukmu. Dan sayang, doa yang menjadikan harap itu
bertemu.
Aku
menuliskan hal sebanyak ini, bukan karena takut tiada kesempatan lagi
berbincang. Bukan. Aku percaya, kalaupun waktumu nanti akan jauh lebih sedikit
untuk berbincang denganku, Allah tiada akan pernah begitu. Karena kamu pun,
kepadaku, sejatinya adalah perantara-Nya menyampaikan pelajaran. Sebagaimana
aku terhadapmu pun demikian.
Meski
dunia ini katanya semu lagi fana, tapi Rasulullah, manusia paling keren itu,
mengajak kita untuk saling menyatakan cinta.
Nda,
Riris
sayang Nda karena Allah.
Kota
Hujan, 17 Februari 2016 11.29 PM
Assalamualaikum Wr. Wb.
Halo Nda, selamat pagi ーketika aku menulis surat ini. Mungkin kamu baca kelak siang, sore, malam, atau esok. Selamat membaca apapun kondisi langit tempatmu berpijak.
Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Mendengar kabarnya, bahagia? Tentu. Senang? Sudah pasti. Apalagi yang diharapkan dari seorang sahabat (jika kamu juga menganggap demikian, haha) pada sahabatnya, teman curhatnya, selain ending yang bahagia dari seluruh perjalanan soal rasa suka.
Aku tidak tahu harus dari mana memulai. Dua hari lalu saat Maryam menghubungiku, Maryam cerita soal kisah bertemu kalian. Bisa bayangkan bagaimana rasanya jadi orang yang tahu sebagian kisah hidupmu; walau tidak semua? Meskipun cerita itu tidak jelas seutuhnnya. Kadang aku berharap kamu ngirimi itu ke aku haha biar aku puas bacanya. Ah, apalagi kamu yang mengalaminya ya? Tentu lebih nggak nyangka.
Dari Selasa juga, aku badmood seharian. Rasanya nggak tau kenapa. Hari ini aku sadar lagi, ketika sepanjang pagi aku udah berangsur being normal person dan buka blogmu, aku badmood lagi, hahaha. Bukan, bukan badmood. Tepatnya seperti perasaan kamu pengen sendiri dan nggak diganggu siapa-siapa. Pengen telfon Nda lama-lama dan kemudian nangis mewek. Dan bahkan sampai detik ini aku nggak mampu baca tulisan kamu sampe akhir. Hahaha, lebay ya.
Kangen banget sama Nda.
Aku seriusan kangen sama segala obrolan-obrolan yang bermakna. Aku mau bilang aku kagum sama Nda. Tapi paling kamu juga udah tau ya. Bagaimana caranya mensolehkan diri Nda? Sementara persoalan di kampus melulu soal amanah organisasi, skripsi, dan manajemen diri ngelola hal itu-itu aja. Muslim di sini banyak, tapi kenapa keinginan belajar masih kurang diupayakan. Kadang iri sama tempat minoritas yang justru keislamannya malah menguat. Bagaimana memasrahkan diri sepenuhnya sama Allah dan bagaimana bisa merasa ikhlas terhadap semuanya. Kalau tau kisah suka Nda, kisah Nda pernah dilamar bahkan sama orang hafal Quran, dan kemudian Allah ganti dengan yang jauuuuh lebih baik. Kita tentu sama-sama nggak nyangka kisah ini justru akan berakhir dengan akhir yang lebih baik :""")
Aku masih tipikal Nda kedua. Masih nyebut nama kalau doa, tapi aku bilang sih ke Allah kalaupun itu tidak baik, aku minta agar aku bisa ikhlas terhadap segala keputusan terbaik yang Allah kasih. Tentang doa aku antara gambling antara dua pilihan sih. Aku pernah tanya temen-temen mana yang baik soal doa duluuu banget jaman masih di IC. Mana yang lebih baik? Katanya doa harus spesifik, tapi katanya kita diminta yang terbaik. H***** bilang, kita boleh minta apa aja sama Allah tapi Allah pasti ngasih yang terbaik. Sejak itu, aku minta spesifik, soal banyak hal tentu. Termasuk juga urusan hidup masa depan. Tapi minta ikhlas kalau menurut Allah itu nggak baik. Mungkin masih salah ya Nda. Ada hal yang mungkin melebihi batas di masa lalu. Yang rasanya takut banget kalau keungkit di masa depan. Hahaha, kenangan itu kadang jadi musuh ya.
Aku nggak tau mau ngomong apa lagi ke Nda.
Aku baru tau rasanya dulu T**** sama P**** emosional banget waktu N**** mau nikah. Ternyata emang gini ya rasanya temen deket, sahabat, temen curhat kita mau nikah. Aku baru tau ada sisi kegakrelaan; bukan soal siapa duluan yang nikah. Tapi rasa masih pengen main sama kamu pengen denger cerita-cerita kamu, pengen denger lebih banyak hal lagi. Lebih banyak hal lagi.
Jadi bagaimana email ini akan kuakhiri? Kalau kamu barangkali jadi salah satu sebab aku mutung belakangan ini, ngambekan, badmoodan, diajak ngomong orang males nanggepin, kerjaan belum kelar-kelar. Butuh banyak main dan ketemu orang, sementara masih banyak hal yang belum selesai :"
Nida yang bersinar layaknya matahari,
aku bener-bener mau nagis di titik aku nulis email ini. Ada yang bikin aku sedih. Tentu saja bukan pernikahan kalian, dan tentu aku sangat berharap terhadap kebahagian kalian. Aku terharu barangkali terhadap seluruh kisah ini. Atau nggak sanggup bayangin kamu yang akan hidup lama di Jepang dan aku nggak tahu akan ketemu kamu lagi kapan. Ahaha sok baper deh Fitri :"
Sejauh ini aku nggak pernah nyangka pertemanan kita akan sejauh ini. Aku dulu tertutup dan nggak pernah cerita ke siapa-siapa. Kamu adalah orang pertama yang tahu seluruh rahasiaku yang entah akhirnya kayak mana. Apa indikator orang siap menikah Nda? Apa yang membuatmu siap untuk menikah? Itu adalah pertanyaan yang belum berhasil aku jawab detik ini.
Dear Nda, ajarin aku untuk lebih banyak dekat ke Allah. Untuk lebih kuat lagi tekad hafalan dan murajaahnya. Untuk lebih action lagi, gak cuma sekedar wacana. Untuk ngejar akhirat, bukan lagi dunia. Untuk ngejar ridha Allah, bukan penampakan yang layak di mata manusia. Untuk meminta selalu pada Allah, bukan pada hamba.
.
.
.
Ajarin aku.
Maaf ya Nda, kalau email ini malah ngerusuhin hari-harimu. How come aku nggak rusuh? Kalau kerusuhan ini cuma bisa aku lakuin sekarang-sekarang ini?
Seseorang yang sayaaaang sama kamu.
Semoga Allah selalu meridhaimu.
Semoga cinta kalian akan membawa kalian pada surgaNya.
Tanpa dibaca ulang (jadi maafkan kalau banyak kata-kata salah),
Yogyakarta, 4 Februari 2016
16 hari sebelum akad yang tidak bisa aku saksikan.
Uhibbuki fillah,
Fitri Hasanah Amhar,
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Today, a piece of postcard came all the way from Bali, as the reply of mine that I sent a couple of months ago. He’s an IC alumni named Diba; a kind (yet annoying) guy I met first time in Singapore, when I had a 14-hour transit on the way coming back to Indonesia from Japan. He was in Singapore on an exchange program at NTU, while I got yet no one as my acquaintances for whom I might call in Singapore to pick me up at the airport and give me companion for a short stroll at the town. By any chance, I got contacted with Kak Ifah, also an IC alumna who I never met before. *Let's give applause to the power of IAIC, hehe. I asked her to accompany me strolling around the Merlion park, then she came up on that day with Kak Diba and Kak Toriq. So, that was the chronology of how Kak Diba and I know each other.
Since then, the friendship went along through ask.fm and twitter, the medias where he (that time) was really active on striking me with a bunch of sarcastic yet enlightening questions and tweets. When I was traveling in Jogja on March 2015, we managed to meet and had a visit to Gembiraloka Zoo and Affandi Museum as well on the other day. I personally think that we have many things in commons; sarcasm diction on putting words, stubborn personality, hobbies on traveling and writing, and we eventually shared the same results at www.16personalities.com personality test as the ENTPs. So far, all the talks going on our chat are fun, although sometimes he is way too annoying. Meh.
By the way, I sent him a postcard to his house in Semarang, but today I got it's replied from Bali as he is now traveling there. See ya in another journey, Kak! Hope you are fine and do get what you're looking for in the days ahead!
Started from her post on Instagram, one of my best high school friends of mine offering to send five postcards to anybody who got interested on receiving hers all the way coming from Hong Kong. You can obviously spot my name in the second comment above. Without any hello nor greeting, I commented with putting my address directly to the comment section, hehehe. Today I'm so happy to be proven that she is kind of "talks the talk and walks the walk" that I received her nice postcard with her silly message written on it. Ah Qoy, jadi kangen deh...
Hi, folks! This is my very first received postcard for 2016! I'm so happy to hand down this postcard right after my coming back from Tokyo today. As I arrived home, Ibuk told me that I got a postcard from someone, then what makes this postcard special is that; this is kind of sudden postcard from Tio which I never asked him to send me nor a reply from what I had sent to him.
It was about two years ago when we had a Line-call while Tio was traveling away from Karlsruhe to visit the ruins of Berlin Wall then I asked him to give me a small piece of its bricks. He didn't say a certain "okay" that time, but today he has definitely surprised me with this little thing inside the plastic circle container that is attached on the center of the card. Yap folks, it's the precious (and historical) dead witness of Berlin Wall demolition in the ending time of East and West Germany rivalry.
Thanks, Tio for your sixth postcard coming to Beppu! Thanks for all the postcards sent from Hannover, Karlsruhe, Lombok, Malaysia, and Berlin! Wait for my reply!
Terimakasih, Pak Dokter.
Untuk inspirasinya (selama ini) dan pesan penuh makna yang tertuliskan dalam selembar kartupos ini. Selamat merayakan #FSpancawarsa!
If I'm not mistaken, this's my second time receiving postcard from Netherlands. The first one was from Kak Icha Maisya, an Insan Cendekia alumna who that time was studying master program in Groningen after coming back from her great one year exploration being Pengajar Muda in Bawean, Madura. Now I'm showing y'all the card from Kak Listya! She's an APU alumna who graduated last September and now is continuing her master degree program in Tilburg. I was so much excited to open the envelope once I handed it, because no one has ever sent me postcard using envelope before. I expected something nice coming out from this white A6-sized paper, then I turned out soooooo happy to know that she also inserted a sachet of heavenly-tasted Netherlands waffle along with the postcard itself. So much thank you for you, Kak!
Sending thousands love from this small town that is missing you back!
Hi, Folks! This time I got a postcard from one of my favorite brothers on earth: Ichsan Bean, which I usually call him with simply "Isan". Anyway, the word "Bean" in his name is derived from the character of Mr. Bean, the main character in a British comedy series where its role given by Rowan Atkinson. Why Bean? Because his face is so much alike with Mr. Bean's, everybody may agree. You want a proof? Stalk him on his Instagram account then you'll see the answer: @ichsanbean
He was one of my junior high school friends which I had never known, got contacted, nor greeted for almost the entire three years during the school period. We were mere like strangers, seriously. Until finally we got linked when I was in the plan for coming back from Japan to Indonesia to take a semester absence on October 2014. It was me who started, after I noticed his cool Instagram posts portraying his traveling activities around Indonesia. Since I planned to have a hike to one of any mounts in Indonesia, I messaged him first through Instagram Direct Message, in order to ask him if he had any plan to go hiking in the near time so I could be in. Then the chat continued to BBM, until in November 2015 we finally had a night camp in Bandung with the other junior high school friends of ours.
Since then, we became close like a brother and sister. He's definitely one of good male-friends of my own. Such a travel-mate you can rely on. As he is now on a travel in China, I asked him to send me a postcard to Beppu then here it is now! Safely arrived on my hand all the way came from Xi'an, China. Thanks, Bro! Have a nice and safe trip there!