Surat Dari Bidadari (2)

12:00 PM

Bias cahaya- suara udara
Gemericik canda- dan semerbak suka dukanya.

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh, Nida Khansa Nazihah. Sebelum kemana-mana, izinkan aku mengabarkan padamu tentang satu hal: bahwa sebelum ini, aku tahu suatu saat akan menuliskan ini untukmu. Dan kurasa minggu ini adalah momen yang tepat. Selain karena dalam hitungan puluh jam lagi kamu akan melangsungkan pernikahan, saat ini aku tengah duduk di tengah-tengah perpustakaan. Bertemankan segelas teh tarik green tea dan keadaan dimana wifi perpustakaan statusnya limited access. Aku sebenarnya hendak mengerjakan sesuatu. Lalu seperti mahasiswa lainnya, entah bagaimana seperti memiliki ketergantungan pada makhluk bernama internet.

Kuharap kamu tidak kecewa. Bahwa ternyata aku menuliskan ini seakan seperti berada pada waktu-waktu sisa. Sebenarnya tidak juga sih, Nda. Ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan. Dan pada minggu-minggu belakangan, sedikit banyak mendominasi perenungan-perenunganku dalam keseharian.

Kalau beberapa hari lalu kamu bilang bahwa kebanyakan orang memandang perjalananmu dari segi romansanya saja, maka izinkan aku mengabarkan apa yang terngiang dalam kepala. Sudah aku kabarkan kepadamu kisi-kisinya beberapa waktu lalu, “…Dari cerita Nda, aku belajar bahwa pembersamaan itu bukan semata penyatuan dua insan, melainkan kolaborasi mimpi, harap, dan cita-cita yang selaras untuk peradaban.” Tentang cita-cita. Tentang mimpi. Tentang harapan.

Aku pernah ditampar dengan kalimat seperti ini: Kamu pandai membesarkan orang, tapi pincang dalam membesarkan dirimu sendiri. Kamu sukses menghargai orang, tapi miskin menghargai dirimu sendiri. Kamu tahu apa yang harus orang lakukan atas cita-cita dan mimpinya, pandai membesarkan hatinya, tapi tersesat dalam mendorong dan memotivasi diri sendiri. Entah kenapa, aku merasa ditampar habis-habisan.

Selama ini, aku seringkali memandang dunia sebagai sebuah sistem dimana aku menjadi penonton. Aku terlibat, namun tidak utama. Aku bersinergi, namun tidak terlalu penting mengambil bagiannya. Seperti aku diciptakan untuk menyemarakkan kisah-kisah orang di sekelilingku. Rasanya seperti harapan terbesarku adalah membantu orang lain menggapai harapan-harapan mereka. Aku main film, tapi di belakang layar. Kurang lebih begitu. Meskipun pada kenyataannya aku tahu, boleh jadi aku tidak banyak membantu.

Maka sebenarnya kalau boleh jujur, aku juga dibuat heran dengan diriku sendiri. Bukan hanya soal cita-cita dan mimpi, bahkan sampai urusan suka-sukaan sekalipun. Hha J Kamu pernah mengataiku aneh. Di bawah langit Bogor, ketika kamu menginap di kostanku saat itu. “Aneh banget sih, Riz kamu itu…” dan seterusnya. Aku tidak begitu peduli dengan eksistensiku. Entah siapa yang mengajari, tapi seperti kepentinganku adalah mementingkan orang lain. Itulah sebab, aku selalu saja merasa perlu berterima kasih pada orang-orang tertentu yang cukup tega memarahiku. Kadang-kadang, kamu mungkin salah satunya.

Belakangan aku jadi curiga pada diriku sendiri. Jangan-jangan selama ini, kebaikanku hanya kedok kemalasan dan ketidakpercayaan diri yang terbungkus cantik. Bahkan aku lebih memilih mendengarkan cerita teman-teman dibandingkan belajar untuk ujian besok. Tapi di sisi lain aku juga menjawab bahwa; “Hei, hidupmu ini sebentar sekali. Lebih baik meninggalkan jejak pada hati manusia dibanding sibuk berjuang untuk diri sendiri lalu tidak meninggalkan apa-apa.” Kadang, seseorang yang paling tidak kita mengerti adalah diri kita sendiri. Itu yang aku rasakan. Kalau kamu tahu sesuatu dan punya waktu, jangan lupa kabarkan padaku, ya.

Lalu aku melihatmu. Hei, kamu begitu terlihat bersemangat bicara tentang dirimu. Bukan, bukan narsisme. Melainkan kamu begitu peduli pada eksistensimu sebagai hamba. Apa yang akan kamu lakukan, masa depan seperti apa, apa yang kamu benar-benar inginkan. Kamu bisa menaruh sikap secara jelas dan tegas. Kamu bisa memutuskan apa yang hendak kamu berlakukan pada dirimu sendiri. Kamu meletakkan dirimu sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh penting. Sementara aku bahkan bertanya-tanya kepada Tuhan, “Apa sungguh, Kau ciptakan aku cukup untuk menjadi penggembira saja?” bahkan ketika kamu begitu sering bicara tentang masa depan, tentang nanti jika kita sudah punya keluarga, tentang dongeng, atau tentang apapun, aku tidak tahu kenapa, seperti tidak menemukan ada aku disana. Bukan pesimis, hanya sebuah perasaan damai bahwa ‘entah apakah waktuku sampai atau tidak’.

Lalu kembali ke kisah perjalananmu. Aku sungguh tidak menitikberatkan pada romansa atau hal semacam itu. Melainkan aku menemukan suatu bentuk penghargaan diri yang sederhana namun mulia, bahwa diri kita harus dihargai sebaik-baik harga, dengan melakukan usaha, upaya, ikhtiar. Nda, aku menjumpai satu hal yang ternyata pahit. Aku tidak mudah percaya pada kepercayaan orang lain kepadaku. Lebih tepatnya aku tidak benar-benar percaya kepada diriku sendiri. Kalau kamu mengerti dan punya nasihat untukku, kuharap kamu berkenan menyampaikannya. Karena aku tahu, ini penyakit sekali. Aku sempat begitu memikirkannya. Kalau ada seseorang yang benar-benar datang kepada ayah untuk memintaku agar membersamainya, bagaimana bisa aku pergi dengan keadaan tidak percaya pada kepercayaannya, sementara pembersamaan itu adalah separuh agama? Aku tahu ini harus dibenahi.

Lalu kembali ke kisah perjalananmu. Aku ingat kamu pernah bilang begini, “Ris, kenapa ga bilangin Nda dari dulu sih?” dan juga yang ini, “Ris, kayaknya orang-orang yang pernah Nda zalimi ngedoain Nda deh. Makanya Nda dapet hidayah”. Sebuah pemikiran luar biasa. Benar ya, Nda. Bisa jadi kita berada dalam kebaikan-kebaikan berkat doa-doa yang tidak lain hadir dari para insan yang kita zalimi. Lalu Allah ijabah. Sampai titik ini, aku selalu selalu merasa takjub betapa Allah selalu memaksaku bertemu dengan orang-orang baik. Memaksaku mendapatkan pengalaman-pengalaman baik. Termasuk bertemu dan mendapat cerita darimu. Terimakasih.

Lalu kembali ke kisah perjalananmu. Aku kenal Nda, di kelas X. Kita mulai banyak berbincang ketika Nda main ke kamarku. Lalu aku bilang-bilang bahwa aku punya indera ke-6. Lalu kita saling membanguni tahajud. Padahal jarak kamar kita terbilang jauh. Lintas gedung. Lalu entah sejak kapan kamu memanggilku ‘kendi air mata’. Sebuah panggilan yang diam-diam aku rindukan. :’) kalau difikir-fikir heran juga bagaimana dulu kita sering bincang-bincang, ya? Sekelas juga nggak pernah -apalagi sekamar. Aku ingat sekali, pernah ketika itu, aku berdoa pada-Nya, pingin dipeluk. Lalu aku berjalan ke masjid. Disana ada Nda, dan Nda serta-merta memelukku. Allah menjawab doaku kontan melalui tanganmu. Kita diam-diam dekat (eh iya nggak sih? Hha) bahkan Zahra sampai bertanya seperti ini padaku suatu saat, ketika kamu memintanya untuk mengajakku mengantar ke bandara untuk keberangkatanmu ke Jepang. Kata Zahra, “Ris, lo sebenernya ada apaan sih sama Nda?” lalu aku hanya tertawa. Tidak tahu harus menjawab apa.

Lalu kembali ke kisah perjalananmu. Aku ingat perbincangan di detik-detik terakhir sebelum kamu memberitahuku kabar membahagiakan itu. Kamu ‘memarahiku’ –jika berkenan kukatakan demikian. Diawali dengan pertanyaan “Boleh nggak sih Ris menyatakan perasaan?” lalu disusul dengan rentet pernyataan yang hiperbolanya, menyayat hati. Sungguh. “Gini ya, Ris. Emangnya kamu fikir gampang jaga iffah sama izzah disini? Emangnya kamu fikir gampang, pakai rok terus disini? Emangnya kamu fikir gampang, murajaah disini?” lalu aku angkat bicara. Tidak menjawab pertanyaan retorismu, melainkan kembali melemparkan pertanyaan. “Oke, jadi permasalahannya dimana?” skip. Aku tidak akan menceritakan panjang lebar bagian ini. Lagipula kamu bisa cek langsung obrolan kita. Aku hanya ingin bilang, terimakasih untuk semua pertanyaan itu. Terimakasih untuk menamparku dengan kata-katamu. Terimakasih karena sukses membuatku berfikir mendalam. Bahkan hingga meninjau ulang keinginan untuk S2 di luar Indonesia jika tanpa mahram. Oh mungkin ada baiknya ikut saran orangtua untuk fast track disini saja.

Lalu kembali ke kisah perjalananmu. Mungkin kamu tidak pernah tahu ke berapa orang aku menceritakan kisahmu. Untuk yang satu ini, maafkan aku. Semoga kamu memaafkanku. Semoga kamu tidak keberatan. In syaAllah ada hikmah yang bisa dibagikan kepada orang lain melalui kisahmu. Kadang memang begitu, kan? Kita diberikan skenario hidup yang sengaja dibuat sedemikian rupa agar bisa diambil pelajarannya. Kadang kita dibuat tersesat untuk menjadi jawaban atas doa saudara kita yang lainnya. Seperti kisah Imam Ahmad yang kehilangan arah dan berjumpa dengan seorang tukang roti. Tukang roti itu terus beristighfar sepanjang melakukan aktivitasnya, hingga Imam Ahmad bertanya, “Apa yang membuatmu terus beristighfar seperti itu?” lalu jawab tukang roti, “Istighfar menjadikan segala pintaku diijabah Allah. Hanya satu yang belum Dia jawab, ialah keinginanku untuk bertemu dengan Imam Ahmad.” Allahu Akbar! Betapa dahsyatnya kausalitas yang Allah skenariokan.

Lalu kembali ke kisahmu. Maka dari itu, sebenarnya mudah saja bagi Allah untuk mempertemukan Nda dengan si Soleh biar ia di ujung dunia sekalipun. Tapi Allah sengaja membiarkan episodenya berjalan begitu seru. Kadang terasa begitu berliku, dan penuh dengan pertanyaan. Untuk diambil pelajaran. Bukan melihat hasil dan tujuan, melainkan bagaimana apiknya Ia menyediakan berbagai hikmah dan pelajaran pada setiap kesempatan. Aku tahu kamu lebih tahu akan hal ini. 

Nda, sejak halaman kedua ditulis, aku tidak menulisnya di perpustakaan. Tapi malam hari di Rumah Qur’an usai kegiatan KBM berlangsung. Ada satu permohonan dariku, kepadamu. Yang aku mohon dengan sungguh-sungguh. Mohon doakan aku pada hal yang baik-baik. Lalu jika di syurga tidak kamu jumpai aku, mohon tanyakan pada Allah dimana keberadaanku. Mohon cari aku. Kalau takut lupa, kuharap kamu berkenan membawa permohonan ini dalam doamu.

Aku tidak tahu harus bilang apa lagi. Aku, sejak beberapa bulan lalu sungguh-sungguh ingin memelukmu. Dan sayang, doa yang menjadikan harap itu bertemu.

Aku menuliskan hal sebanyak ini, bukan karena takut tiada kesempatan lagi berbincang. Bukan. Aku percaya, kalaupun waktumu nanti akan jauh lebih sedikit untuk berbincang denganku, Allah tiada akan pernah begitu. Karena kamu pun, kepadaku, sejatinya adalah perantara-Nya menyampaikan pelajaran. Sebagaimana aku terhadapmu pun demikian.

Meski dunia ini katanya semu lagi fana, tapi Rasulullah, manusia paling keren itu, mengajak kita untuk saling menyatakan cinta.

Nda,
Riris sayang Nda karena Allah.
Kota Hujan, 17 Februari 2016 11.29 PM


You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Contact Form

Name

Email *

Message *

recent posts

Subscribe