#UmairNidaNikah 7: Ta'aruf dan Khitbah

8:58 AM

     Mobil yang kami tumpangi sudah menyentuh daerah Minami Gyoto-ku, yaitu satu station jaraknya dari rumah Bu Pur yang terletak dekat Gyoto-ku Station. Sebelum saya dan Bu Pur benar-benar keluar dan pamit dari mobil Ustadz Birkiyah, Ustadzah Samiyah memastikan tentang kedatangan kami berdua ke Yuai Islamic International School besok siang. Sekolah islam itu terletak persis di belakang Masjid Turkey Camii yang berada di area Yoyogi Uehara, masjid naungan Turkey Embassy yang desain interior dan eksteriornya sangat cantik sekali. Ustadzah Samiyah bilang bahwa kami hanya diminta datang saja tanpa perlu bicara apa pun. Anggap saja hanya pertemuan biasa. Intinya beliau mencoba menenangkan kami bahwa semua akan baik-baik saja sekaligus meyakinkan kami untuk tidak memasang harap terlalu banyak. Besok hanya perkenalan saja, bukan ta'aruf seperti yang ada di film Ayat-Ayat Cinta.
     Selepas melangkahkan kaki keluar mobil, saya dan Bu Pur masih kelimpungan. Bu Pur sesekali mengeluarkan candaan yang agak serius dengan bilang, "Ah kamu ngerepotin saya, Da. Saya punya dosa apa sama kamu?" Dan bukannya segera masuk ke dalam station untuk langsung pulang, lutut kami yang kian melemas malah mengarahkan kami menuju sebuah cafe. Bu Pur mengajak saya masuk ke dalam cafe untuk sekadar ngopi dan menenangkan diri, katanya. Ada banyak spasi waktu di antara percakapan saya dan Bu Pur semenjak kami turun dari mobil hingga saat kami benar-benar duduk di kursi lengkap dengan kopi dan roti-roti pilihan kami malam ini. Waktu kosong ini hanya kami isi dengan hela napas dan saling tatap banyak arti. Menit-menit ini rasanya lamaaaa sekali. Sampai akhirnya benar-benar tenang, Bu Pur kembali bersuara lagi.
     "Ini soal dunia dan akhirat, Da. Emangnya nikahin anak orang itu bercandaan?" saya hanya mendengar saja. Bu Pur 100% benar bahwa perkara pernikahan adalah urusan yang bukan sembarang urusan. Ada tanggung jawab besar di dalamnya.
     "Kamu tuh bener besok mau datang ke Yoyogi? Niat sampai jadi atau sekarang ini kamu niatnya kayak; 'kalo jadi syukur kalo enggak jadi juga gapapa'?" Pertanyaan beliau kali ini makjleb sekali.
     "Bu, saya yakin ini bukan sesuatu yang tiba-tiba dateng gitu aja. Bukan kayak petir di siang bolong. Saya anggep undangan ketemuan besok sebagai jawaban dari doa-doa saya dan hadiah dari apa yang udah saya lakukan selama ini," kata-kata saya terlontar begitu saja di tengah-tengah seruputan Bu Pur terhadap kopinya.
     "Asal Ibu tau, saya udah puasa Daud selama tiga bulan. Belum lama ini saya juga udah hapus foto-foto wajah saya di Instagram. Ya pokoknya berusaha jadi muslimah yang lebih baik deh. Termasuk soal ngencengin hafalan," saya menjelaskan dengan sedikit sesenggukan. Sedikit takut juga kalau disalahartikan.
     "MasyaaaAllah... Oke kalo gitu besok kita beneran berangkat, Da. Kamu tau? Sebelum saya ketemu sama Bang Salman, saya juga puasa Daud dulu. Persis kayak kamu..."
     Merasa bahwa skenario yang terjadi di momen ini adalah benar sebuah suratan Tuhan dan bukan peristiwa kebetulan, Bu Pur akhirnya mengiyakan kesediaannya menemani saya ke Yoyogi Uehara besok siang. Keyakinan yang beliau punya sekarang barangkali berasal dari adanya kesamaan ikhtiar yang dibuat di masa mudanya dulu dengan remaja dua puluh tahunan yang ada di hadapannya sekarang. Semacam perasaan senasib kah? Atau saya ini seperti alasannya bernostalgia lagi ke kisah romansa beliau dengan Salman-san? Entahlah.
     Kopi di kedua cangkir kami telah sampai di garis finish. Roti-roti juga sudah habis dilahap. Ritme waktu di malam ini juga sedikit memelan. Napas kami pun berangsur memulih. Nada bicara saya yang sedikit tersedu juga membaik lagi. Saya juga tidak tahu kenapa mesti rada terisak ketika menceritakan tentang diri saya ke Bu Pur beberapa saat tadi. Yang jelas, sekarang saya merasa agak tenang. Tampaknya akan ada momen besar esok hari yang saya harus siap atas apa pun hasilnya nanti. Dalam hati, saya mulai meyakinkan diri saya sendiri bahwa ini adalah bagian takdir.
     Ya Allah, inikah hikmah kenapa hamba tidak dapat tiket promo untuk tanggal 6 Januari? Inikah hikmah kenapa hamba malah mendapatkan tiket promo untuk tanggal 10 Januari, kehilangan dompet, diajak Bu Pur tinggal di rumahnya, dan tiba-tiba Engkau hadapkan hamba dengan pertemuan dengan seorang sholih esok hari?

9 Januari 2016, Yuai Islamic International School, Yoyogi Uehara, Tokyo

     Ternyata bagi Bu Pur, menyiapkan mental untuk mendampingi saya ke ajang perkenalan untuk 'urusan dunia-akhirat' ini tidaklah mudah. Yang tadinya janji datang sehabis dzuhur, kami malah berangkat sehabis dzuhur. Bu Pur rada gugup sampai-sampai perlu menenangkan diri dulu. "Da, Aku tuh sebelum keluar rumah harus dikelarin dulu nih yang mengganjal apaan. Enggak bisa Aku ke Yoyogi kalo misal di rumahnya belum beres." Akhirnya Bu Pur telepon sana-sini untuk berbicara kepada beberapa orang berbeda untuk urusan yang berbeda-beda pula. Supaya nanti fokus, katanya. Padahal sayanya biasa saja karena Ustadzah Samiyah pun sudah bilang bahwa pertemuan ini hanya akan jadi perkenalan biasa.
     Singkat cerita, sekitar jam 2 siang kami sampai di tempat yang dijanjikan. Ketika kami masuk ke dalam gedung sekolah ini, terlihat beberapa aktivitas belajar-mengajar sedang berlangsung. Hingga kemudian seseorang berjubah putih dengan peci dan kacamata terpasang rapi menyapa kami berdua. Deg. Orang itu mirip sekali dengan orang di foto yang ditunjukkan oleh Ustadz Birkiyah tadi malam. Bedanya, orang ini terlihat lebih muda dari wajah yang ada di foto. Apakah dia yang bernama Umair Morita itu? Sejujurnya pada saat itu saya sempat membatin, oh jadi ini orang yang namanya udah ketulis buat gue di Lauhil Mahfudz? Tapi buru-buru saya hapus bisikan tersebut untuk menghindari kegeeran atau kekecewaan di kemudian hari.
     Orang berpeci dan bercelana cingkrang ini pun kemudian meminta izin kepada kami untuk memanggil ayahnya. Deg. Ada ayahnya juga. Setelah ayahnya datang dan menemui kami, saya dan Bu Pur kemudian digiring masuk ke dalam sebuah ruangan kelas yang di dalamnya ada beberapa kursi kecil untuk anak-anak, karpet, serta jajaran rak buku. Saya dan Bu Pur duduk di atas kursi sementara Umair-san dan ayahnya duduk jauh sekali dari kami di atas karpet. Saya cukup tenang ketika itu karena yang saya lakukan hanya menunduk tanpa bicara sama sekali. Jangankan untuk bicara, mendongakkan kepala saya untuk melihat jelas wajahnya Umair-san saja benar-benar tidak berani. Bukan jaga sikap atau penciteraan, tapi entah kenapa rasanya risih dan gagap sekali untuk bertemu mata dengan dua orang laki-laki berjubah dan berpeci yang kelihatannya tampak sangat menjaga diri.
     Sesi pertama dalam ta'arufan kami pun dimulai. Ayahnya Umair-san berbicara panjang lebar sekali untuk memperkenalkan anak pertamanya kepada kami. Di bagian ini, ada momen yang sangat sentimentil sekali. Bu Pur sampai menitikkan air mata sementara saya diam saja tapi ikut melankoli juga. Ayahnya Umair-san bercerita tentang kelima anaknya yang dididik untuk jadi 'alim dan alima di Afrika Selatan. 'Alim adalah sebutan mereka untuk lulusan madrasah setara S1 bidang agama. Keempat anak laki-lakinya adalah hafidz mutqin alias hafal 30 juz lancar, dimana salah satunya adalah si sulung Umair-san. Sang Ayah ini juga bercerita tentang keputusannya meninggalkan Jepang untuk membesarkan anak-anaknya di jalan Allah. Namun tentunya, fokus dalam cerita beliau kali ini adalah tentang Umair-san dan kepribadiannya. Mungkin bagi Bu Pur yang seorang ibu dari tiga orang putera, makna cerita ini dalam sekali sementara saya hanya merasa takjub saja. Sang Ayah mendetailkan juga profil dasar Umair-san sehingga kami tahu bahwa tepat pada hari ini, 9 Januari 2016, adalah hari terakhirnya menjadi pemuda berumur 25 tahun. Tanggal 10 Januari besok adalah hari ulang tahunnya yang juga tepat hari kepulangan saya ke Beppu. Wah, berarti doi menghabiskan hari terakhir di umur 25 tahunnya dengan saya ya? Hihihi. Selepas beliau bercerita, kali ini giliran Bu Pur yang bercerita kepada mereka tentang saya. Saya jadi sedikit gugup ketika Umair-san tiba-tiba mengeluarkan notes kecil dan pulpen dari saku jubahnya. Kemudian Bu Pur berbicara jujur saja bahwa beliau baru kenal saya semingguan yang lalu, itu pun lewat musibah kehilangan dompet juga karena kebetulan bertemu di kompetisi Qur'an yang mengantarkan saya jadi juara ketiga. Ya, fakta bahwa saya juara ketiga lomba membaca Qur'an minggu lalu adalah satu-satunya data yang Bu Pur miliki untuk 'mempromosikan' saya kepada mereka. Penjelasan Bu Pur yang cukup singkat ini kemudian terpotong oleh datangnya waktu sholat Ashar. Mereka bertiga sholat berjamaah sementara saya berhalangan.
     Sehabis sholat, kami berempat berpindah tempat ke sebuah ruangan lain yang lebih kecil dan padat oleh dua meja besar dan kursi-kursi. Ruangan kelas yang sebelumnya kami tempati akan dipakai untuk kegiatan belajar, katanya. Entah kata siapa. Di ruangan yang baru ini, suasana jadi sangat mendebarkan sekali karena inilah sesi dimana saya dan Umair-san saling bicara langsung pertama kali. Saya dan Umair-san ditempatkan di sebuah meja bundar yang lebih kecil lalu duduk di kursi yang saling berhadapan. Sementara Ayahnya Umair-san dan Bu Pur duduk di antara jajaran kursi di meja seberang. Parahnya, atmosfer mendebarkan ini masih harus ditambahkan lagi ketegangannya ketika tiba-tiba Bu Pur izin keluar ruangan untuk mengisi kajian di lantai atas gedung ini. Nah, ini jugalah salah satu keajaiban yang datang serba kebetulan. Semalam Bu Pur dihubungi rekan satu grup halaqahnya untuk mengisi pengajian, yang entah bagaimana bisa, minggu ini kajiannya bertempat di gedung yang sama dengan acara perkenalan saya dengan Umair-san. Eh, apa Bu Pur yang pindahkan venue-nya supaya mobilitas beliau hari ini fleksibel, ya? Entahlah.
     Setelah beberapa menit berhadap-hadapan tanpa saling tatap dan tidak keluar sepatah kata pun dari kami, rupanya ada yang geregetan di sudut sana. Ayahnya Umair-san akhirnya memecah keheningan kami. Haha. Momen ini sangat kikuk sekaligus juga lucu. Setelah digodai Sang Ayah, 'Si Akhi' akhirnya bersuara juga. Beuh. Suaranya mengademkan, wkwk. Kalau saja diukur, sepertinya tangga nada suara Umair-san ini masuk di dua oktaf lebih rendah dari pada suara saya. Hehe. Tapi tetap saja, semengademkan apa pun suaranya, leher saya masih saja kaku. Belum berani menatap wajahnya lagi entah kenapa. Padahal saya penasaran banget muka jelasnya seperti apa mumpung sekarang jarak pandangnya lebih dekat.
     Obrolan kami kemudian dilanjutkan berdua saja. Sang Ayah bilang bahwa beliau memilih pakai headset supaya tidak dapat mendengar pembicaraan kami karena kami terlihat sangat malu-malu untuk memulai percakapan. Bukannya menanyakan tentang diri saya, Umair-san malah bertanya tentang ilmu apa saja yang saya kuasai, belajar bahasa Arab berapa tahun, sudah berapa juz hafalan saya, dll. Kami sesekali tertawa kecil ketika ada beberapa perbedaan dalam cara pandang kami tentang sebuah praktik agama. "You must've learned hadits from Bulughul Maram, right?", tanyanya. Saya mengiyakan dan balik bertanya kenapa dia bisa tahu. Terangnya, rata-rata temannya orang Malaysia yang bermazhab Syafi'i belajar ilmu hadits dari kitab Bulughul Maram. Di percakapan ini, saya sedikit mengulum senyum kemenangan ketika mengaku pernah belajar Balaghah sementara dia tidak terlalu mendalaminya, walaupun saya percaya bahwa kemampuan bahasa Arabnya pasti sudah sangat mahir. Padahal dia tidak tahu saja bahwa satu-satunya bab di Balaghah yang saya masih ingat adalah Tasybih, selebihnya hilang semua. Hehehe. Momen inilah yang di kemudian hari membuat saya lebih sadar bahwa ketentuan Allah akan takdir manusia begitu rapi. Kesemua mata pelajaran agama yang saya catut di percakapan ini adalah apa yang saya pelajari di zaman Tsanawiyyah dulu. Jujur saja, saya sangat tidak suka bersekolah disana, bahkan sesudah saya lulus dari sana pun saya sering menyesal kenapa saya pernah masuk sekolah tsb. Tapi sekarang saya bersyukur karena pengalaman belajar di tempat itulah yang berperan banyak untuk melancarkan pertimbangan Umair-san memilih saya.
     Selanjutnya, giliran saya yang 'menginterogasinya'. Saya coba ajak dia battle hafalan surat Al-anfal. Saya mulai basmalah dan lanjut ayat pertama, kemudian memintanya menyusul di ayat kedua yang disambung kembali oleh saya lalu masuk ke gilirannya lagi. Begitu seterusnya hingga kami bisa membaca Al-Anfal secara bergantian per satu ayat. Dia tidak setuju dengan syarat 'game' yang saya ajukan ini kecuali jika suratnya diganti dengan surat Ar-rahman, itu pun harus dimulai dari ayat terakhir bergerak ke atas sampai ayat pertama. Respon saya? Jelaslah saya enggak setuju! Muraja'ah surat Ar-rahman dari ayat satu ke ayat terakhir saja masih sering acak-acakan, apalagi sekarang diminta upside down? Akhirnya, manusia berpeci ini pun takluk dengan aura wanita saya yang galak. Hehe. Enggak deng, waktu itu saya menolak secara halus kok. Akhirnya dia pun setuju dengan aturan main saya. Saya kemudian mulai membaca basmalah dan ayat pertama. Jangan kira saya se-cool itu ya, yang ada saya gemetaran takut tajwid saya belepotan. Sementara itu, sisi lain dari diri saya mulai kritis untuk mempertanyakan dalam benak, ini ta'arufan apa program teve Hafidz Indonesia di RCTI sih? Saya sendiri bingung dan mulai berpikir dimana letak pembicaraan tentang pernikahannya.


foto ini diambil semalam sebelum pertemuan
     Ternyata, sang Ayah yang katanya menyumbat telinganya dengan headset mendekati kami. Sepertinya beliau sudah dengar apa yang tengah terjadi di meja kami ini. Sehabis dua halaman surat Al-anfal dilafalkan berdua oleh saya dan Umair-san, ayahnya Umair-san memberhentikan rap battle Qur'an battle kami ini. Beliau yang tampaknya kembali geregetan, kemudian mengambil alih moderator percakapan saya dengan Umair-san. Eng ing eng! Sesi ta'aruf yang sebenarnya pun dimulai. Saya ditanya-tanyai banyak hal: keluarga, kuliah, rencana masa depan, dll. Pokoknya banyak sekali. Tapi yang paling mengejutkan saya, pertanyaan-pertanyaan beliau juga sudah mengarah ke mahar dan konsep acara walimahan yang harus syar'i tanpa musik, tanpa memajang pengantin, apalagi ikhtilat pria dan wanita; juga budget anggaran untuk biaya walimah dan izin orangtua saya. Ada beberapa gesture Umair-san yang saya tangkap seperti bilang, "Pak, buru-buru amat!" ke ayahnya. Tapi percakapan kami bertiga yang semakin mengerucut ini pun tidak dapat dihindari lagi. Alhasil, ada beberapa 'kesepakatan' yang terbentuk dalam beberapa poin. Namun tentu saja, kesemua poin tsb bukanlah sebuah kontrak yang mesti dijanjikan saat ini juga oleh saya dan Umair-san mengingat satu dan lain hal di kemudian hari yang bisa saja memaksa kami untuk saling meninggalkan dan mengikhlaskan proses ini berakhir. Salah satu kesepakatan tersebut adalah tentang jawaban Umair-san atas iya atau tidaknya ia memilih untuk lanjut ke pernikahan yang akan ia informasikan ke Salman-san seminggu kemudian dari hari ini.
     Kemudian, Ayahnya Umair-san kembali mempersilakan kami berbincang kembali. Ah, Bu Pur kapan balik lagi kesininya sih? Percakapan selanjutnya antara saya dan Umair-san mengalir lebih friendly dan 'normal', karena saya sendiri yang pegang kendali atas topiknya. Saya tanya tentang apa the biggest dream miliknya, dia jawab bahwa tersebar luasnya islam di Jepang adalah mimpi terbesarnya sementara saya menjawab saya ingin membangun Beppu Islamic Center ketika ia balik menanyakan hal yang sama kepada saya. Lalu dia bertanya tentang kriteria suami idaman saya. Saya lalu mencatut sebuah kata-kata mutiara yang entah kapan pernah saya lihat di home Facebook saya. Saya jawab, "I have three points here: the one who helps me strengthening my iman, the one who makes me remember Allah every time I remember him, the one who will guide me to enter His jannah". Seketika dia mengangguk mendengar jawaban saya sementara saya tidak perlu lagi menanyakan kriteria isteri seperti apa yang dia harapkan dapat membersamainya karena hal tsb sudah dijelaskannya di sesi sebelumnya. Saya kemudian tanya berapa jumlah anak yang ia inginkan kelak, ia lalu bertanya hal yang sama. Dia jawab dua atau tiga kemudian terkejut dan sedikit terkekeh ketika saya jawab delapan. Ketika hampir tidak ada lagi hal yang perlu ditanyakan baik oleh saya atau pun Umair-san, Bu Pur pun datang kembali ke ruangan. Ayahnya Umair-san meminta saya menceritakan ke Bu Pur segala hal yang dibicarakan oleh saya, beliau, dan Umair-san saat Bu Pur tidak ada. Tentunya, dengan bahasa Indonesia.
     Hari menggelap. Saya dan Bu Pur harus bergegas pulang. Hampir kesemua informasi yang saya dan Umair-san butuhkan terkait ta'arufan ini berhasil didapatkan. Sebelum saya dan Bu Pur benar-benar beranjak, Umair-san menanyakan satu pertanyaan terkahirnya.
     "How if your parents don't agree with this marriage?"
   "Of course I won't continue," jawab saya mantap tanpa pikir panjang. Pengalaman ta'arufan sebelumnya membuat saya belajar banyak hal tentang pentingnya ridho orangtua dalam langkah apapun yang saya mau tuju. Tapi jawaban saya ini membuat Bu Pur kaget dan sontak merespon,
     "Eh? Beneran? Sayang lah..."
     Kemudian saya merespon beliau dengan bahasa Indonesia juga. Pokoknya saya enggak akan memaksakan orangtua saya. Kalau mereka setuju, saya lanjut. Kalau mereka tidak oke dengan rencana pernikahan ini, ya sudah. Akan selesai pula urusan saya dengan Umair-san.


11 Januari 2016, Masjid Beppu, Beppu

    Setelah kemarin mendarat selamat di bandara Oita, saya belum juga punya nyali untuk bercerita kepada kedua orangtua tentang apa yang saya alami di Tokyo. Ketika masih berada di Tokyo, sempat sih saya cerita bahwa saya kehilangan dompet disana, dan kata adik saya, Ayah dan Mamah agak marah. Semakin takut rasanya kalau bercerita tentang ta'arufan antara saya dan Umair-san yang hanya berlangsung satu hari saja pada tanggal 9 kemarin itu. Saya sengaja tidak memberitahukan orangtua saya dari sejak sebelum berangkat menemui Umair-san ke Yoyogi Uehara karena khawatir Ayah dan Mamah akan skeptis duluan, padahal belum juga dicaritahu seperti apa orang yang berniatan baik terhadap saya tsb. Singkat cerita, sebelum akhirnya saya menelepon Ayah dan memberitahukan beliau tentang Umair-san, saya berkonsultasi terlebih dulu dengan beberapa orang, di antaranya Pak Sigit dan Ibuk. Pak Sigit adalah mahasiswa S3 APU yang jadi 'bapak'-nya anak-anak Taslima di Beppu dan bapak dari ketujuh putera-puterinya di Indonesia. Sementara Ibuk adalah wong Semarang yang sudah lama tinggal di Beppu dan jadi 'ibu'-nya anak-anak Taslima. Sebagai orang yang sudah saya anggap sebagai kedua orangtua saya di Beppu, tentu pendapat Pak Sigit dan Ibuk sangat berarti sekali bagi saya. Inti dari respon mereka sama, padahal saya berbicara kepada mereka di dua kesempatan berbeda. Saya berbicara dengan Pak Sigit di masjid dan dengan Ibuk di rumah. Menurut Pak Sigit dan Ibuk, pertemuan antara saya dan Umair-san kemarin sudah masuk khitbah alias lamaran, bukan sebuah proses ta'aruf atau perkenalan lagi. Padahal saya masih mengira bahwa proses yang berlangsung antara saya dan Umair-san baru masuk proses perkenalan saja, karena saya pun masih harus menunggu sekitar semingguan lagi untuk keputusan iya atau tidaknya Umair-san tentang berlanjutnya proses ini ke pernikahan. Umair-san perlu memikirkan dan mengistikhirohkan kenyataan bahwa saya adalah seorang student yang tidak match dengan pencariannya untuk mendapatkan seorang full house-wife. 
     Terlepas dari keputusan apapun yang akan diutarakan Umair-san nantinya, Pak Sigit dan Ibuk menyuruh saya untuk segera bilang ke orangtua. Saya berniat telepon Ayah malam ini. Bagaimana ya, respon Ayah setelah mendengar cerita saya?

You Might Also Like

4 komentar

  1. Masya Allah...
    Mbaca ini jantung srasa deg-degan gitu (padahal cuma baca, gimana yg ngalamin yak) hmmm..
    Huaa Kakak mah ceritanya huehue kayak serial gitu pas puncaknya malah dipotong huehue (hft aku tetap harus sabar menanti lanjutannya lah ya) hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wa maasyaa Allah...
      Sengaja dipotong Yu, biar ada bahan buat nulis nanti-nanti lagi.
      *padahal aslinya lagi males nulis panjang aja hehehe

      Delete
  2. Terimakasih untuk terus berbagi yaah :) Semoga Nida dan Umair-san Allah swt. berikan banyak keberkahan, aamiin ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama-sama Mbak Meka ^^
      Kalau mau tuker2an postcard jangan sungkan ya *LHO*
      AAMIINNN banget untuk doanya...

      Delete

Popular Posts

Contact Form

Name

Email *

Message *

recent posts

Subscribe