Surga Saja Tidak Cukup

1:30 AM

Sheikh Zayed Mosque, - koleksi pribadi

    Ada satu hal yang baru saya sadari sekarang-sekarang, bahwa ternyata kita diberi pengertian tentang tauhid itu secara bertahap. Maka kepada yang masih mempertanyakan karena apa dan untuk apa ia dilahirkan di dunia ini entah itu di Sahara atau dataran hijau Norwegia, sungguh jawabannya tidak lain dan tidak bukan hanya untuk Tuhan-Nya semata.

     Ketika kecil dulu, nalar kita yang masih belum bisa mencerna hal-hal rumit soal falsafah hidup dan idealisme penduduk dunia harus hanya terpuaskan sampai dengan teori "Reward and Punishment" saja. Bahwasanya tujuan kita beribadat, shalat, dan zakat adalah untuk mendapatkan pahala. Sementara berbohong pada Papa, tidak nurut sama Mama, serta perbuatan-perbuatan nakal khas anak kecilnya lainnya adalah pemicu ditimpakannya dosa di catatan amal kita.

     Padahal ketika kita kecil dan belum baligh tersebut, sebetulnya catatan amal kitanya saja masih belum dipisahkan dari catatan amal orang tua kita. Segala yang baik akan ditulis malaikat Raqib di 'buku kanan' Mama dan Papa, sementara yang buruk akan ditulis malaikat Atid di 'buku kiri' mereka.

     Selain itu, kita juga diberitahu bahwa jika timbangan amal sebelah kanan lebih berat dari timbangan sebelah kiri kita pada hari perhitungan nanti, secara otomatis kita akan mendapat tiket masuk surga: sebuah tempat yang keindahannya tidak dapat terimajinasikan di layar sensasi kita.

       Memasuki tahapan tauhid selanjutnya, kita dipahamkan bahwa sebetulnya masalah surga dan tiket masuk kesana sangat bergantung kepada ridho dan kasih sayang-Nya saja, bukan hanya karena beratnya amal perbuatan kita.

     Seorang guru saya di Insan Cendekia, Bu Dini namanya, pernah bercerita tentang seorang hamba yang ditakdirkan oleh Allah untuk masuk surga. Ia dengan percaya dirinya merasa bahwa surga yang ia dapatkan adalah hasil dari jerih payahnya beribadah selama ia hidup di dunia. Namun Allah mengelaknya. Ia lalu ditantang untuk menghitung amalannya dan membandingkannya dengan segala rahmat Allah yang telah dikaruniakan kepadanya.

     Selesai menghitung, ia pun kalah telak. Ternyata benar, karena ridho-Nya sajalah surga itu berhasil ia dapatkan. Jika dan hanya jika Allah rela memberinya kasih sayang sebesar surga, maka tertolonglah ia dari celaka api neraka. Saat bercerita tentang kisah ini, Bu Dini beberapa kali menekankan bahwa amal baik kita tidak akan bisa sebanding dengat rahmat-Nya yang tidak mungkin dapat kita hitung.

     Dari penjabaran tersebut, kita lalu mengenal kata "ikhlas". Bahwasanya kewajiban kita hanya beribadah semampu kita dan sebaik-baiknya, sementara hasil dan penerimaannya diserahkan kepada Allah saja. Memasuki tahapan ketauhidan yang satu ini membuat kita semakin sadar bahwa betapa tidak pantasnya kita ini bertumpu pada amal shalih kita sebagai jalan kembali ke 'kampung halaman' kita di surga sana. Karena harus kita akui, ibadah kita masih jauh dari kata sempurna dan masih jauh dari ibadah yang sebenar-benarnya ibadah sebagaimana orang-orang terdahulu menjalankan ibadah.

     Masih mending jika yang tidak sempurna itu diterima oleh-Nya, tapi bagaimana jika kebanyakan ibadah kita tertolak di sisi-Nya? Masihkah premis berbunyi "semakin banyak ibadah semakin mendekatkan kita ke surga" berlaku disini? Sementara penerimaan terhadap ibadahnya saja merupakan hak prerogatif Allah dan tergantung seberapa ridho Ia pada kita. Maka di tahap ketauhidan inilah, kita disadarkan betul bahwa ridho Allah-lah yang menjadi incaran utama kita hidup di dunia.

     Namun, apa sebetulnya yang kita idam-idamkan atas Allah? Betulkah hanya sebatas surga? Betulkah puncak tertinggi keridhoan Allah berwujud pada penyerahan tiket masuk ke jannah-Nya untuk kita? Saya pun kemudian ingat ucapan salah satu guru saya. Beliau adalah isteri dari imam Masjid Beppu yang berasal dari Pakistan yang saya kenal cukup dekat. Ia pernah berujar kepada saya dan sisters yang lain, "nikmat tertinggi atas balasan manisnya iman seorang muslim itu adalah sesuatu yang nilainya tidak sebanding dengan surga sekalipun, yaitu perjumpaan dengan wajah Allah..."

     Maasyaaa Allah inilah tahap ketauhidan selanjutnya yang saya cerna, bahwa ternyata ada tujuan yang lebih agung dari sekadar surga. Lalu, dimana letak ilmu kita yang sempit ini jika harus membayangkan keindahan perjumpaan dengan-Nya kelak, kalau untuk membayangkan surga saja kita tidak mampu?


You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Contact Form

Name

Email *

Message *

recent posts

Subscribe