Perempuan, Peradaban, dan Cinta

10:49 PM

     Tentu sudah teramat sering kita mendengar pentingnya peran ibu dalam setiap lini hidup manusia. Betapa mereka dimuliakan di agama mana pun, harkatnya dinomorsatukan sebagai manusia yang paling berhak mendapat bakti kita. Pengorbanan mereka tidak terbatas, sudah tidak mungkin terhitung berapa banyaknya keinginan mereka dinomorduakan setelah kepentingan kita.
     Lebih hebatnya, pengorbanan itu berlangsung tidak dalam waktu sepekan-dua pekan saja, melainkan bertahun-tahun dari mulai kita dalam perutnya hingga kita dewasa dan memilih jalan hidup sendiri dengan keluarga baru kita. Sampai disini, semua kalimat-kalimat tersebut rasanya hanya terdengar sebagai puisi di telinga saya hingga dua bulan lalu, tepatnya tanggal 26 November 2017, Morita Muhammad Muaaz (baca: Mu'adz) anak pertama saya terlahir ke dunia.
     Perjuangan melahirkan Muaaz telah membuka mata saya seluas-luasnya tidak hanya terhadap peran ibu saya sendiri, melainkan juga tentang bagaimana dunia ini bekerja. Di atas bumi yang kita pijak sekarang, ada milyaran manusia beraktivitas di atasnya, dari mulai jadi gembel hingga presiden negara. Faktanya, mereka bisa sampai ada di dunia ini karena lahir dari rahim sesosok makhluk bernama "perempuan". Dari berpayah-payahnya seorang perempuanlah kepanjangan takdir Tuhan akan lahirnya satu orang manusia baru ke bumi-Nya bisa terjadi, termasuk dalam kasus Siti Maryam yang dianugerahkan-Nya anak walau tanpa tersentuh tangan laki-laki.
     Hebatnya lagi, Maha Besar Allah, kejadian perempuan berpayah-payah seperti ini tidak terjadi hanya satu kali, tapi entah berapa milyar kali hingga akhirnya peradaban ini tercipta di dunia dan tetap terus berjalan hingga detik ini.
     Sesaat setelah Muaaz terlahir di ruang persalinan rumah seorang bidan di kampung saya, Muaaz menangis disambut dengan tangisan saya sejadi-jadinya. Saat suami saya menggendongnya dan kemudian bidan pindahkan ia ke dekapan saya, tidak ada lagi kata-kata yang saya ucap di telinga mungilnya selain "I love you, sayang..." sambil diselingi dzikir syukur dan ungkapan-ungkapan ketidakpercayaan yang saya tujukan untuk suami saya yang selama delapan jam ikut berjuang menyemangati saya dengan cinta, agar saya bisa kuat menikmati satu demi satu rasa mules yang sakitnya luar biasa. "Love, this is our baby, Love! He's here now..."
     Setelahnya, saya pikir perjuangan saya sudah selesai, ternyata hari-hari berikutnya justeru lebih melelahkan. Namun, betapa hebatnya Allah telah menanamkan rasa cinta luar biasa di dalam dada manusia hingga rasa lelah pun berganti menjadi rasa sayang tidak terbendung ketika Muaaz si bayi kecil yang hanya bisa menangis dan merepotkan tetap saja bisa membuat saya tersenyum bahagia.
     Maha Besar Allah pula, Allah tidak titipkan cinta seorang ibu hanya sampai ke anaknya saja tapi hingga cucu dan cicitnya. Selama sebulan lamanya setelah Muaaz lahir, ibu dan nenek saya sangat berandil besar dalam membantu saya dan suami saya mengurus Muaaz selama kami berada di Indonesia. Rasanya tidak akan terbayangkan bagi saya kalau saya yang belum berpengalaman dan masih dalam proses penyembuhan harus mengurus bayi saya berdua saja dengan suami.
     Kehadiran Muaaz juga menjadi kebahagiaan bagi semua orang di keluarga besar kami. Betapa saya melihat dengan mata kepala sendiri kasih sayang ayah, ibu, kakek, nenek, paman-paman, bibi-bibi, adik-adik, juga sepupu-sepupu saya mengalir deras untuk Muaaz. Betapa hal ini telah memperingatkan saya bahwa hidup saya juga begitu berarti karena kelahiran saya 22 tahun yang lalu pun pasti dielu-elukan  sekali oleh mereka kala itu.
     Betapa kelahiran Muaaz telah memperlihatkan saya dengan detail bagaimana susahnya ibu saya mengurus saya setiap hari. Detail sedetail-detailnya karena saya sekarang merasakan sendiri apa yang telah dialami ibu saya.
     Hari ini, setelah dua bulan menjadi seorang ibu pun, rasa lelah tidak kunjung mereda, hanya saja ritmenya sudah mulai teraba. Saya dan suami mulai terbiasa, dan itulah yang terjadi di dunia beribu tahun lamanya hingga peradaban ini tercipta. Semua karena cinta-Nya. Karena Dia telah titipkan rasa cinta dalam diri manusia yang tersiklus terus-menerus dari generasi pertama Adam dan Hawa hingga generasi kita dan seterusnya.


Teruntuk Mamah Yayu yang sangat saya cintai, I love you Mah...
Terimakasih sudah jadi bagian dari peradaban ini.

You Might Also Like

2 komentar

  1. Masya Allah Kak, semangaat. Sudah duluan mengambil peran sebagai wanita pembangun peradaban!

    ReplyDelete
  2. Ku suka nih nda 😁. Terus nulis, biar ku termotivasi nulis juga

    ReplyDelete

Popular Posts

Contact Form

Name

Email *

Message *

recent posts

Subscribe