Diriwayat-kan oleh al-Bukhari dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu. Ia menuturkan: “Kami bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemuda yang tidak mempunyai sesuatu, lalu beliau bersabda kepada kami:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
‘Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).'”
HR. Al-Bukhari (no. 5066) kitab an-Nikaah
***
Ada seorang muslimah Jepang, muallaf, solihah, menutup aurat sempurna; menikah dengan seorang laki-laki muslim asal luar Jepang yang sayangnya setahun lebih kemudian pernikahan mereka berujung pada perceraian. Duduk perkaranya karena tidak terpenuhinya nafkah lahir oleh pihak laki-laki bahkan seringkali menjadi benalu finansial bagi sang isteri. Niat keduanya untuk tinggal bersama juga kandas karena terkendala oleh masa lalu si lelaki yang berakibat fatal terhadap pengajuan visa laki-laki tersebut untuk tinggal di Jepang. Alhasil karena jarang sekali bertemu, nafkah batin keduanya juga jarang terpenuhi. Padahal, hal krusial macam begini seharusnya bisa dibicarakan di masa taarufan mereka, bukan baru terungkap saat sudah menikah sehingga salah satu pihak merasa dibohongi atau dirugikan.
Kisah yang lain berasal dari seorang perempuan yang saya kenal baik walaupun tidak terlalu dekat. Sudah beberapa tahun terakhir ia dan suaminya pisah rumah, lagi-lagi perkaranya karena nafkah lahiriyah yang disepelekan. Walaupun betul si isteri sangat mampu dan bisa berpenghasilan sendiri, tapi wajar sekali kalau hal ini mengikis barakah dan sakinah dalam rumah tangga mereka.
Kisah selanjutnya datang dari salah satu sahabat saya sendiri. Ada seorang pemuda mengajukan diri kepada sahabat saya. Maka sebagai muslimah berilmu, sahabat saya itu segera membawa proposal pemuda tersebut ke orangtuanya, supaya langsung dapat diproses kalau orangtuanya setuju, atau segera‘say goodbye’ saja kalau orangtuanya tidak setuju.
Diluar dari perkiraan sahabat saya, orangtuanya jatuh hati dan mengelu-elukan sekali pemuda tadi. Naasnya, ternyata ayah dari pemuda itu belum mau anak laki-lakinya menikah dekat-dekat ini. Lah? Lalu bagaimana bisa si pemuda itu nekat datang melamar anak gadis orang dan me-lobby kedua orangtua si gadis kalau izin ayahnya sendiri belum dikantongi?
***
Wahai laki-laki muslim harapan agama ini... Izinkan saya yang fakir ilmu ini sedikit saja menutur nasihat.
Segala macam persiapan menuju pernikahan baik dari sisi lahir (nafkah, materi, dll) dan juga batin (izin orangtua, mental dan kematangan) yang kalian butuhkan dalam membangun jiwa tanggung jawab kalian sebagai pemimpin rumah tangga kelak adalah tugas kalian sendiri, sebagaimana kami perempuan dengan ikhtiar kami sendiri juga ikut majelis ini-itu dan belajar masak (misalnya) untuk menambah bekal ilmu rumah tangga kami.
Wahai laki-laki muslim harapan agama ini...
Jangan libatkan perasaan orang lain dulu kalau persiapan kalian belum benar-benar matang. Rumus yang islam ajarkan adalah mampu dulu baru cari pendamping hidup. Bukan ikat anak perempuan orang terlebih dulu dengan berbagai macam kemungkinan-kemungkinan semu lalu ajak perempuan tersebut untuk bersama-sama menyiapkan diri. Sekali lagi: siapkan dan barulah cari, bukan cari kemudian disiap-siapkan.
Walaupun islam tidak mensyaratkan mapan, tapi islam syaratkan mampu menafkahi lahir-batin. Walaupun betul bahwa para perempuan juga perlu menyiapkan diri dengan berbagai ilmu dan keterampilan sebagai madrasah pertama bagi keturunannya kelak, tapi perempuan ada di pihak yang ‘diminta’ dari keluarganya, bukan pihak yang harus mengikhtiarkan kesiapan diri kalian sebagai kepala rumah tangga nantinya.
Wahai laki-laki muslim harapan agama ini...
Kalau saja setiap laki-laki muslim pakai rumus 'mampu dulu baru mengajukan diri untuk taaruf', maka hukum islam tentang haramnya pacaran jadi makes sense. Jadi logis. Karena kedua pihak (laki-laki dan perempuan) hanya akan diketemukan saat keduanya sudah siap betulan untuk menuju jenjang pernikahan. Pun kalau saat diketemukan dalam proses taarufannya pihak perempuan ternyata belum begitu siap dan cakap di beberapa hal kecil, hal tersebut tidak akan jadi masalah besar karena lelaki yang sudah siap lahir-batin untuk menikah pasti sudah juga menyiapkan mental untuk mendidik isteri, karena insyaaaAllah Allah pun akan memilihkan perempuan yang kesiapannya sudah matang dan sekufu. Kalau sudah saling sreg tapi masih harus sama-sama berjuang untuk menyiapkan pernikahan dari segi izin orangtua, finansial pihak laki-laki, dan urusan tek-tek bengek lain yang membuat keduanya berinteraksi cukup intense dan intim dalam jangka waktu yang lama apalagi sampai bertahun-tahun mah, ya apa bedanya sama pacaran yang dilarang islam?
Misi pernikahan dalam islam itu sangat agung, jadi jangan bawa peer duniawi terlalu besar ke dalam pernikahan. Karena saat sudah menikah, diharapkan suami-isteri fokus membangun keluarga dan mimpi-mimpi akhirat yang lebih sakral lagi, seperti belajar parenting bersama dan membangun cinta lewat saling mengenal satu sama lain lebih dalam.
Jangan sampai syarat islam yang memudahkan pernikahan hanya dengan kecukupan tanpa perlu menjadi mapan malah melenakan pemuda islam hari ini untuk menganggap remeh soal materi. Jangan sampai kalah dengan pemuda jarang ngaji yang justeru getol mencari pundi-pundi rezeki.
Allah memang menjanjikan kekayaan bagi pemuda yang menikah untuk menjauhi fitnah, tapi Allah melarang suami berbuat dhalim kepada isteri dengan tidak menafkahinya. Masa depan memang hanya Allah yang tahu, but we are required to strive for the best and leave the rest to Allah, bukan gaspol yang penting halal dulu.
Kalau ikhwan fillah mau mengajak seorang perempuan bertaaruf, kalian harus beres dengan diri kalian terlebih dulu. Beres dari sisi lahir (nafkah, materi, dll) dan juga batin (mental dan kematangan). Ingatlah, walaupun peran isteri juga sama pentingnya, tapi dalam menjalankan peran sebagai nakhoda bahtera rumah tangga, tanggung jawab seorang suami itu sangat penting. Ialah kebutuhan yang sangat amat mendasar dalam sebuah institusi sosial bernama pernikahan.
Dan untuk saudariku wahai wanita muslimah...
Ingatlah bahwa harga seorang muslimah begitu mahal dalam islam. Value kita dalam agama ini sangat berarti. Lebih baik menunggu orang yang tepat, siap, dan matang secara agama dan kecukupan materinya dibanding menurunkan standard kita dengan cepat-cepat mengiyakan seseorang yang terlanjur datang tapi meminta kita ikut membangun kesiapannya dalam jangka waktu yang lama untuk berubah dari laki-laki 'anak mama’ menjadi sosok kepala keluarga.
InsyaaaAllah, Allah akan menghadirkan laki-laki yang tepat dan beruntung mendapatkan kita kok jika masa penantiannya kita isi dengan hal-hal baik. Dengan bersiap diri menjadi isteri dan ibu masa depan dengan ikhtiar kita sendiri tanpa ada satu laki-laki pun tahu, insyaaaAllah Allah akan menghadirkan laki-laki yang sepadan dengan hasil ikhtiar kita membenahi diri. InsyaaaAllah!