Pertanyaan dari teman-teman yang paling sering datang ketika kabar tentang pernikahan saya mulai terdengar adalah, "Udah siap nikah emangnya, Nid?"
Hmm.. Udah belum ya?
***
Sebelum awalnya saya mendapatkan jawaban yang tepat, pertanyaan ini cukup membuat saya merefleksi banyak hal terkait rencana pernikahan saya. Di kemudian hari, saya lalu menyadari satu hal. Bahwasanya ketika kita berbicara tentang kesiapan untuk menikah, sejatinya kesiapan itu hanya datang dari Allah saja. Hanya jika Allah meridhoi kita untuk merasa siap lah, maka kesiapan itu akan betul-betul muncul dari dalam diri kita.
Seorang teman saya pernah berkata, "Rezeki itu kayak rantai, Nda; berkesinambungan. Jadi kita berpindah dari satu pintu rezeki ke pintu yang lainnya. Nah, supaya kita bisa masuk ke pintu selanjutnya, kita harus dipandang siap dulu oleh Allah untuk menerima rezeki dibalik pintu baru tersebut. Dan salah satu cara untuk memunculkan kesiapannya yaitu dengan mensyukuri rezeki kita di pintu sebelumnya." Pada dasarnya, perkataan teman saya ini sejalan dengan konsep rezeki dalam surat Ibrahim ayat 7:
Dari nasihat teman saya itulah, saya kemudian terilhami bahwa konsep bersyukur untuk bersiap menyambut rezeki dan kedatangan dari rezeki itu sendiri, bisa dikatakan satu keterkaitan. Kalau kita bersyukur dengan keadaan kita hari ini, kita jadi siap menerima kedatangan rezeki esok hari. Adapun ketika tiba-tiba kita kedatangan rezeki yang tidak terduga di hari ini, bisa disimpulkan bahwa itu karena kita telah dipandang siap menerimanya oleh Allah; yaitu karena kita telah mensyukuri rezeki yang datang di waktu kemarin.
Maka ketika saya ditanya lagi oleh orang yang berbeda dengan pertanyaan serupa, "Tapi kamu siap nikah, Nid?" saya pun spontan menjawab, "Ya nggak tau sih Kak, kalo udah siap apa belum. Tapi dengan Allah mendatangkan Umair ke aku sekarang, mungkin karena Allah emang mandang bahwa aku udah siap untuk nikah. Intinya yang menilai itu Allah, bukan diri kita. Bukan manusia yang nilai."
Kemudian dari satu pertanyaan refleksi ini, saya seperti diarahkan menuju pertanyaan refleksi berikutnya; memangnya, apa sih yang telah saya syukuri hingga Allah mau membukakan lagi pintu rezeki-Nya yang baru? Karena bagi saya, kehadiran Umair-san itu lebih saya anggap sebagai gift ketimbang decision.
Ketika banyak orang bertanya kenapa harus menikah di tengah-tengah masa studi saya di Jepang, kebanyakan dari mereka akan berbicara tentang bagaimana saya yang masih berumur duapuluhan bisa mengambil keputusan besar di usia sedini ini. Padahal bagi saya, Umair-san dengan paket keilmuan dan dunianya sekarang itu seperti sebuah jalan yang Allah sediakan bagi saya atas banyak pertanyaan saya tentang masa depan (klik disini).
Kalau kata seorang senpai, "It's like you're walking through a path in one night, then he comes to you and brings an extra lighter so you can see the vision brighter..." Sementara saya, sambil sedikit cengengesan dan malu-malu meresponsnya dengan bilang, "Kinda true cause actually I said 'okay' to this marriage not because I exactly know who Umair is. It's like... The life that he offers is the world that I want to live in even after I graduate from here," Walah ngomong apa dah gue.
Mungkin saya bermaksud bilang bahwa pertemuan dan penyatuan kami berdua itu semacam konspirasi semesta. Tentang bertemunya kesamaan visi dan cara hidup yang juga sama. Tentang serendipity; berdoa untuk Umrah dan kejelasan cita-cita, dijawab-Nya dengan mahram, imam, dan mentor dalam satu badan yang sama, yaitu "jodoh" namanya. Ciyeh.
Maka ketika saya berpikir bahwa kehadiran Umair-san itu rezeki, bisa disimpulkan bahwa ada sebuah hal di zona waktu sebelumnya yang telah saya syukuri. Karena perihal bertemunya saya dengan sang teman hidup adalah tentang menerima orang baru, bisa jadi kesiapan saya menyambut Umair-san berasal dari rasa syukur saya terhadap orang-orang yang telah terlebih dulu hadir dalam kehidupan saya. Maka deretan namanya akan berjajar dari orangtua, keluarga, sahabat, kawan dekat, teman seperjuangan, dan saudara-saudara seiman yang dipertemukan dalam berbagai kesempatan yang membekaskan banyak pelajaran.
Dalam masa refleksi selanjutnya, saya ingat-ingat lagi momen berharga apa yang banyak membuat perubahan dalam hidup saya. Ialah masa cuti satu semester dari kampus yang saya jalani di Fall Semester 2014 setahunan yang lalu. Di masa rehat dari kampus sejak Oktober 2014 hingga Maret 2015, ada beberapa kejadian dan proses pendewasaan yang saya alami sehingga membuat saya sangat belajar tentang menerima apa adanya kehadiran tiga orang dalam hidup saya, yakni kedua orangtua saya dan satu orang yang hadir untuk 'mengedukasi' saya soal kebutuhan akan menikah. Ialah seseorang yang mengajak saya berta'aruf pertama kali.
Seorang hafidz 30 juz yang membuat saya silau akan titelnya ketimbang betapa saya cinta terhadap sunnah rasul-Nya yang berupa pernikahan. Ialah yang membuat hati saya berkembang mekar, merasa diinginkan sebagai wanita, dan mulai berpikir bahwa ternyata saya sudah masuk umur untuk layak dijadikan isteri atau dicarikan jodohnya. Lalu kemudian lamanya proses yang kelewat alot menghadiahkan saya kekecewaan hebat, hingga saya sempat 'membenci' orangtua saya karena bagi saya mereka tak paham betapa mulianya mendahulukan seorang penghafal Qur'an untuk dijadikan bagian dari keluarga (klik disini).
Ketidaksetujuan orangtua tentu membuat luka. Ada proses penerimaan yang lama dan pengambilan hikmah yang berlangsung tidak hanya dalam hitungan hari saja. Jangan dikira saya sekuat itu untuk tidak baper dan nangis bombay, begini-begini saya masih remaja karena pada saat itu umur saya masih sembilan belasan. Si dia tidak jadi dapat, tapi sayangnya perasaan saya belum kelar juga.
Kalau hanya rasa suka atau berkencenderungan terhadapnya, sangat mudah untuk dihapus. Karena pada dasarnya, saya sedang suka dengan seorang teman dari lima tahunan lalu hingga sang hafidz pun datang dan membuat kendali hati saya berubah haluan kepadanya barang sebentar. Yang saya maksud dengan perasaan yang belum kelar disini adalah, keinginan untuk tidak sendirian lagi.
Sebelum orang itu hadir, ilmu tentang ta'aruf dan nikah hanya sebatas teori saja. Tapi setelah selesainya proses ta'aruf saya dengan orang tersebut, ilmu itu terasa mendekat dan memunculkan keinginan untuk segera memiliki pasangan hidup. Ada semacam perasaan layak untuk dicintai oleh seorang laki-laki dewasa, juga perasaan untuk dilindungi dan tidak solo lagi kalau pergi kemana-mana termasuk traveling keliling Indonesia pakai angkutan umum yang kadang berbahaya. Sudah ingin ada yang jaga. Semacam perasaan kesepian sehabis ditinggal pergi padahal biasanya juga ngapa-ngapain sendiri.
Lalu tepat tanggal 1 April 2015 saya mendarat di bandara Fukuoka. Beberapa hari kemudian sekolah pun mulai lagi. Kegiatan di kampus yang mulai sibuk pelan-pelan melupakan saya pada apa saja yang terjadi di Indonesia kecuali yang baik-baik saja. Singkat cerita, suatu hari saya mendapat kabar yang memberikan saya hikmah luar biasa bahwa tidak berlanjutnya proses ta'aruf saya dengan orang tersebut adalah pilihan Allah yang paling baik untuk saya.
Dari momen itulah saya sangat bersyukur sekali tentang keputusan Ayah dan Mamah tempo hari. Dari momen itulah saya sangat disadarkan akan pentingnya ridho orangtua. Kemudian dari penyadaran inilah saya menjadi sangat bersyukur karena memiliki orangtua seperti mereka berdua. Betapa saya disadarkan bahwa Allah paling tahu apa yang hamba-Nya butuhkan dan tidak mungkin memberikan hal buruk bagi hamba-Nya yang percaya.
Kebersyukuran saya terhadap orangtua saya juga berlanjut ke tahap dimana saya bersyukur pula telah Allah pertemukan dengan orang tersebut. Jika saja Allah tidak hadirkan dia dalam hidup saya, bisa jadi saya tidak punya kesempatan untuk mengevaluasi diri, mencoba menelaah lagi kira-kira apa saja hal di dalam diri saya yang perlu diperbaiki, dan akhirnya menjadi terilhami untuk melakukan ikhtiar yang lebih praktikal lagi, yaitu puasa sunnah.
Allah menghadirkan dia agar Allah bisa pahamkan saya ilmu-ilmu tentang menikah. Allah menghadirkan dia sebagai pelajaran agar saya lebih bersiap untuk menjemput imam saya yang sebenarnya, yaitu Umair-san. Allah menghijrahkan dulu diri saya, karena ternyata saya dipersiapkan Allah untuk sosok seperti Umair-san.
Bahwa barangkali, segala proses satu setengah tahunan dari mulai cuti kuliah; karantina menghafal Qur'an di Bali, menjalin ukhuwah dengan para pecinta kalam-Nya, berproses ta'aruf tiga bulan lamanya yang berujung patah hati, kembali ke Jepang dan diembani amanah baru, memanjangkan kain penutup mastaka, memutuskan untuk berpuasa, dll, semua itu mungkin saja buah dari do'a seorang laki-laki bernama Mohammad Umair Morita yang Allah tangguhkan dulu jawabannya karena Allah ingin menempa saya terlebih dahulu sebelum diketemukan dengannya di waktu yang paling tepat menurut Allah.
Lagi-lagi benar, Allah lah yang menyiapkan hamba-Nya untuk bersiap, bukan dengan kekuatan kita semata kita menjadi siap. Maka, apabila kamu merasa aneh atau iri kenapa ada teman yang menurutmu tidak lebih siap menikah dibanding kamu tapi sudah bertemu jodohnya duluan sebelum kamu, periksa lagi hatimu. Barangkali temanmu itu hanya menggantungkan diri pada kekuatan Allah agar dijadikan siap sementara kamu menganggap bahwa hijrahmu sudah betul-betul mantap.
Dari pengalaman pernah berta'aruf itulah saya menjadi lebih hati-hati tentang memaknai apa sebetulnya kesiapan untuk menikah. Tanpa bermaksud ingin membandingkan dua individual, saya bersyukur dapat menemukan banyak pelajaran dalam proses ta'aruf sebelumnya. Bahwasanya ada beda antara proses ta'aruf tsb dengan proses antara saya dan Umair-san.
Di proses sebelumnya, kesiapan menikah itu seperti dicari di tengah-tengah perjalanan. Bahwa ada seorang laki-laki yang berniat menikah kemudian menemukan saya di tengah pencariannya. Padahal saat itu sang laki-laki sedang berada dalam penantian menuju peluang besar dalam hidupnya untuk pergi ke negara seberang dan saya sendiri sedang dalam masa persiapan kembali ke kampus saya di Jepang.
Terlalu banyak hal yang dikompromi-kompromikan, sehingga niat menikah pun lebih mengarah kepada keinginan saja dibanding kebutuhan. Pokoknya, terlalu banyak hal yang dipaksakan agar sesuai dengan jalan cerita yang kami mau, bukan apa yang Allah mau. Bisa jadi si laki-laki sudah ingin menyudahi lebih awal tapi tidak enakan dengan saya sebagai pihak perempuannya, dan mungkin masih banyak 'bisa jadi'-'bisa jadi' yang lainnya lagi.
Proses tiga bulan ini terlalu bertele-tele dan alot. Terlalu banyak spasi yang membuat kami kecolongan untuk bertukar sapaan dan pesan-pesan yang agak 'merah jambu'. Jadinya, ta'arufan ini seperti ajang coba-coba yang barangkali cocok maka bisa dilanjutkan, namun ternyata malah gagal di tengah jalan.
Kegagalan proses inilah yang ternyata menyiapkan saya menuju proses dengan Umair-san. Barangkali Allah memudahkan proses saya dan Umair-san karena pada dasarnya kami memang sudah sama-sama Allah pandang siap menikah bahkan sebelum kami berdua dipertemukan. Ketika saya memenuhi undangannya untuk bertemu pertama kali pada tanggal 9 Januari di Yoyogi Uehara, saya merasa siap maju dan tidak asal coba-coba seperti pada ta'arufan sebelumnya.
Tapi di saat yang sama, kesiapan ini jugalah yang membuat saya berlapang dada kalau pun tidak berakhir ke pelaminan, berbeda dengan ta'arufan sebelumnya yang membuat saya uring-uringan dan hanya siap kalau ending ceritanya mulus-mulus saja. Karena dari awalnya saja sudah sama-sama siap itulah, maka di tahap selanjutnya, proses saya dengan Umair-san berjalan sangat lancar walaupun banyak keterbatasan.
Selepas pertemuan pertama saya dengan Umair-san, kami tidak pernah sekalipun saling kontak sampai akad nikah tanggal 20 Februari. Proses komunikasi dilakukan dengan group chat menggunakan Line antara saya di Beppu, Bu Pur di Chiba, Abbu-nya Umair-san yang di tengah-tengah proses harus kembali ke Afrika Selatan dan Ammi-nya Umair-san yang berada di Tokyo. Sementara dari pihak keluarga saya, saya lah yang menyampaikan ke Bu Pur, Abbu, dan Ammi.
Saya memang punya Line-nya Umair-san, tapi tidak ada satu pun dari kami berdua yang mulai menyapa duluan sampai ijab kabul terlafalkan. Di hari pernikahan itu pulalah kali kedua kami bertemu setelah pertemuan pertama kami di Yoyogi Uehara, itu pun setelah selesai semua acara seremonial dan sudah sah menjadi suami-isteri.
Saat Umair-san ke rumah saya di Indonesia tanggal 26 Januari, ayah saya menelepon saya dan tentu saja saat itu ada Umair-san di tengah-tengah kumpulan keluarga besar saya. Tapi kami tidak saling bicara juga. Untungnya adik-adik saya sedang libur dari pondok dan bisa ikut acara lamaran itu sehingga merekalah yang mengirimi saya live report lewat Line.
Namun alhamdulillah, dibalik keterbatasan karena kompromi dua paham dan budaya ini, pernikahan kami tetap lancar hingga hari-H bahkan dihadiahi Allah dengan berkah gerimis sebentar di pagi harinya. Kalau bukan karena kuasa Allah, rasa-rasanya pernikahan ini terlalu ajaib jika dilihat dari berbagai sisi.
Tamu undangan yang hadir juga tidak disangka akan betulan pada datang. Padahal mereka datang dari jauh; Jerman, Bekasi, Kyoto, Nagoya, Sendai, Beppu, Tokyo, dll. Sudinya mereka menyengajakan memesan tiket, mengurus visa, mencapai jarak tidak seberapa, mendoakan, dan banyak juga yang memberi kado dan hadiah pernikahan.
Betapa bersyukurnya saya telah Allah jodohkan dengan sosok yang membawa saya pada kenikmatan proses menuju pernikahan yang khusyuk dan 'pesta' pernikahan sekhidmat ini. Betapa saya merasa beruntung; bahwa imam saya mengajarkan saya untuk memperhatikan kesyar'ian bahkan sebelum ia berkesempatan untuk mengajarkan saya lewat verbal.
Kesemua tamu laki-laki dan Umair-san sendiri ditempatkan di lantai 2 Masjid Hachioji, sementara tamu perempuan juga saya sebagai mempelai wanita di pernikahan ini berkumpul di lantai 3 masjid. Kesempatan ikhtilat sangat kecil, ditambah pula kekhusyukan ini dengan tidak adanya musik.
Pada sebuah chat, Abbu menyampaikan, "He doesn't want to please anyone but Allah and he wants to follow how Rasul and sahabah did their walimah..." Maka sejak hari itu saya berkeinginan agar akad nikah dan walimah anak-anak saya kelak harus berdefinisikan arti dan pengalaman yang sama dengan milik orangtua mereka. Ada semacam khidmat yang menenteramkan. Ada berkah yang semoga Allah ridho atasnya.
Dari kisah saya sendiri, saya menarik kesimpulan bahwa kesiapan menikah itu sudah harus lahir sebelum seorang laki-laki mengajak seorang perempuan untuk ta'aruf dan ketika si perempuan pun mengiyakan ajakan pemuda tsb, bukan malah dicari-cari di tengah-tengah proses ta'aruf atau ketika sudah khitbah dan tengah menyiapkan akad nikah. Selain berasal dari usaha kita sendiri, yang terpenting dalam masa mempersiapkan diri adalah minta bantuan Allah agar disiapkan betulan.
Sementara itu, proses menyiapkan diri sendiri harus bermula sejak jauh-jauh hari. Bahkan Ustadz Salim A. Fillah saja sudah menyiapkan diri untuk menikah muda sejak umur beliau masih 15 tahun. Setelah lima tahun memperbagus diri, menginjak umur 20 tahun Ustadz Salim pun sudah siap menikah dan barulah melangkah ke jenjang ta'aruf, khitbah, lalu akad nikah.
Belakangan saya tahu, ketika Allah tempa saya dengan berbagai hikmah agar saya lebih siap menikah, ternyata di belahan bumi lain ada seorang pemuda bernama Umair yang juga sedang mencari siapa kekasih halalnya. Hampir sama seperti saya, Umair-san juga sempat berta'aruf dulu dengan seseorang yang pada akhirnya tidak membuahkan apa-apa.
Saat proses ta'arufnya itu mandet di tengah jalan dan dirasa tidak mencapai kata sepakat yang jelas, Umair-san memilih tegas untuk mengakhiri proses tsb sebelum Umair-san berangkat haji tahun 2015 lalu karena ia ingin beribadah dengan fikiran yang lebih bersih dan tenang. Di depan ka'bah lah Umair-san berdoa agar Allah pertemukan ia dengan jodohnya; agar Allah memberinya seorang qurrata a'yun bagi matanya, and how lucky I'm that it happened to be me :")
Mungkin doanya di Mekah inilah yang Allah ijabah hingga mendatangkan kelancaran super cepat dalam proses kami ke pernikahan. Terhitung enam minggu saja jaraknya antara pertemuan pertama di tanggal 9 Januari 2016 dengan hari akad nikah kami pada tanggal 20 Februari 2016, dimana kami tidak saling bertemu dan tidak saling kontak di antara spasi kedua momen ini.
Pertolongan dan kemudahan Allah terasa mengalir dimana-mana walaupun proses ta'aruf ini kelewat sebentar, karena pada dasarnya Allah sudah memproses kesiapan kami sejak dari lama lewat pertemuan dengan orang sebelumnya, merasai patah hati, hingga akhirnya memasrahkan diri dan memilih untuk tidak berlama-lama larut dengan apa yang sudah terjadi.
Pada akhirnya Allah menghadiahkan kami dengan pertemuan tidak terduga dengan jodoh kami yang sebenarnya; pertemuan dengan seseorang yang namanya sudah tertulis di jalan takdir sebagai pelengkap separuh agama kami, yaitu Umair untuk Nida dan Nida untuk Umair.
Mohon doanya semoga Allah selalu berkahi pernikahan saya dan Umair-san hingga tiba saatnya saling berpisah melalui takdir yang Allah tulis sebagai akhir dari usia kami. Aamiin...