Adalah sebuah kesalahkaprahan jika keseluruhan cerita pribadi saya dalam series #UmairNidaNikah dijadikan referensi cerita romansa agar teman-teman pembaca menjadi termotivasi untuk mendapatkan kisah cinta yang sama. Pada dasarnya, setiap orang diberikan kemuliaan dalam bentuk yang berbeda-beda dan hak yang sama untuk memperindah kisah cintanya masing-masing. Jangan sampai kita terhipnotis dengan kisah romansa orang lain sehingga lupa mensyukuri keadaan diri sendiri. Itulah mengapa cerita yang saya buat dalam rangkaian #UmairNidaNikah, sebisa mungkin dibagi-bagi ke dalam beberapa hikmah di tiap episodenya, agar pembaca blog saya tidak lebih berfokus kepada roman picisan yang terkandung di dalamnya.
Maka kepada siapa saja yang masih menjaga diri untuk orang yang dinanti, tetaplah berteguh pendirian. Tetaplah dengan kesendirian yang Allah lebih ridhoi dibandingkan mengotori hati dengan perasaan cinta yang belum boleh dihadirkan dalam diri dan hati kalian. Pun termasuk saya di hari ini yang masih menanti beberapa hari lagi menuju akad pernikahan, masih perlu terus-terusan membersihkan hati jangan sampai ada perasaan cinta yang tumbuh untuk fiancé saya yang sedang adem-ayem saja bekerja di Tokyo sana sementara saya menjamur di Beppu sini.
Dalam proses kesendirian dan penantian, seringkali kita yang katanya sudah merasa paham agama dan bertekad untuk menjadi jomblo karena prinsip, didistraksi oleh banyak tipu muslihat syetan. Sedikit mengkritisi banyaknya akun dakwah di media sosial yang belakangan terlampau sering membahas soal jodoh, agaknya topik ini menjadi bumerang tersendiri bagi para muda-mudi Islam saat ini. Seringkali pembahasan soal jodoh malah melarutkan kita kepada kegalauan yang seolah-olah dibalut lebih Islami.
Maksud hati ingin mendeklarasikan hijrah diri dengan bilang, "Aku mencintaimu dalam diam..." tapi kata-kata tersebut malah dipampang di media sosial, lalu dimana lagi esensi 'diam' itu berada? Ada juga yang katanya menjaga diri tapi caption di Instagramnya selalu bilang "Aku menantimu," atau "Berjuanglah calon imamku," atau "Hey kamu yang sudah disiapkan Tuhan, nanti kamu akan menjemputku dalam jalan cerita terindah, kan?" Hmm... Ukhti fillah-ku, silakan saja tanya teman-teman cowok kalian, apa mereka tidak akan terpanggil hasratnya kalau membaca kode-kode macam begitu?
Memang sih, kalimat-kalimat seperti itu ditujukan kepada anonim. Tapi justeru disitulah bahayanya. Karena tidak tahu ditujukan untuk siapa, memangnya di belahan bumi lain tidak akan ada orang yang kegeeran saat membaca kalimat seperti itu? Memangnya tidak akan ada teman cowok yang senyum-senyum sendiri berharap kalimat tadi ditujukan untuk dirinya? Hemat saya, salah satu parameter apakah caption kita termasuk kode atau bukan, bisa dilihat dari respon orang yang ikut nimbrung berkomentar. Kalau ada yang berkomentar (baik itu laki-laki atau perempuan), "Ciyeh buat siapa tuh?" atau "Ke siapa nih maksudnya?", maka bisa dipastikan bahwa caption kita memang mengundang rasa penasaran. Sementara rasa penasaran hanya akan keluar kalau ada trigger-nya, yaitu; kode-kodean. Itu artinya caption kita memang fix ngode. Namun agaknya, akan lebih baik lagi kalau kalimat-kalimat 'mengundang' tadi tidak jadi di-post saja, regardless akan ada orang yang memberi komentar atau tidak. Huft. Masalah kode-mengode ini memang dirasa cukup pelik di kalangan kawula muda, terutama wanita; makhluk Allah yang cara berkomunikasinya lebih kompleks dibanding pria.
Terlepas dari problematika soal kode-mengode, saya rasa, salah satu faktor kenapa belakangan ini topik jodoh menjadi booming sekali dimana-mana adalah, karena kebanyakan pengguna media sosial sekarang merupakan anak-anak millenial. Yaitu orang-orang yang lahir di awal tahun 90-an sampai tahun 2000-an. Karenanya, ketika zaman Instagram, Facebook, Twitter, Ask.fm, Tumblr, dll, jadi sangat ngehits seperti sekarang, para penggunanya merupakan orang-orang dalam rentang umur belasan sampai sekitar umur 26 tahunan, which is memang umur dimana kita baru kenal asmara hingga umur siap menikah menurut idealnya KUA. Mungkin premis ini bisa menjadi setitik landasan kenapa topik tentang jodoh bisa sebegini mewabahnya di dunia maya.
Karena kepopulerannya itulah, topik jodoh kemudian diangkat oleh para pengemban dakwah yang cara kerjanya lebih modern dengan menggunakan media-media sosial. Kebanyakan pesan-pesan dakwahnya berisi tentang; jodoh adalah rahasia Ilahi, say no to pacaran, dan ajakan memantaskan diri. In the way that their persuasions have given such a positive effect to the youngsters untuk lebih meningkatkan kualitas diri, jelas saya pribadi sangat kagum sekali dengan langkah-langkah ini. Setidaknya kita jadi tahu bahwa pacaran itu haram dalam Islam. Kita juga jadi tahu bahwa laki-laki yang baik hanya untuk perempuan yang baik. Dan yang terakhir, topik yang paling populer saat ini adalah tentang memantaskan diri untuk si jodoh yang dinanti-nanti.
Dari situlah kemudian diketahui beberapa cara dan langkah untuk memperbaiki diri dalam rangka memantaskan diri untuk si pujaan hati yang sekarang ini masih belum boleh dipacari. Katanya sih, baru boleh dipacari kalau benar sudah halal gitu deh... Ceileh. Tersebutlah kemudian bahwa rangkaian step-nya adalah A, B, C, D, dan E. Ada yang menyuruh berhijab syar'i, rajin mengaji, rajin sedekah, dan mungkin khususnya untuk laki-laki, harus lebih giat lagi shalat berjamaah di masjid, serta lain sebagainya. Sayangnya, konsepsi ini seringkali menjadikan kita lupa harus dimuarakan kemanakah niat kita yang sebenarnya.
Teori memantaskan diri yang setengah-setengah seperti ini, seringnya mengalpakan kita pada teori memantaskan diri untuk menerima cinta-kasih dari Allah SWT saja. Kebanyakan muda-mudi yang memutuskan untuk berhijrah malah jadi lebih fokus untuk memperbaiki diri agar bisa sepadan dengan orang baik yang sudah lama diincar dari jauh-jauh hari. Padahal yang namanya memantaskan diri, ya objek/targetnya harus ditiadakan terlebih dahulu.
Kita ingin jadi sholihah karena memang ingin jadi muslimah sholihah saja, bukan supaya jadi sama kufunya dengan orang yang sudah kita suka dari lama. Kan sudah jelas soal jodoh mah telah Allah pilihkan orangnya dan sudah tertulis juga namanya di Lauh Mahfuz. Itulah sebabnya banyak dikatakan, bahwa jodoh itu memang bukan dicari, tapi ditemukan. Karenanya, mendoakan sebuah nama supaya dipaksakan agar jadi jodoh kita adalah bentuk perlawanan dari keberpasrahan diri terhadap takdir yang Allah beri.
Sebetulnya, Allah dan Rasul-Nya sudah terang-terangan sekali memberikan solusi terhadap masalah cinta-cintaan dan jodoh-perjodohan ini dengan sangat jelas, yaitu; menikah atau puasa. Cukup dua itu saja, seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadits shahih;
"Barangsiapa di antara kamu yang mempunyai kemampuan hendaklah segera menikah, karena nikah itu lebih menundukkan mata dan lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu hendaknya berpuasa karena puasa itu dapat membentenginya.” (HR. Al Bukhari no. 1905)
Tentu saja, kedua pilihan ini baru akan berlaku kepada orang yang memang sudah merasa butuh menikah atau sudah terindikasi galau soal siapakah jodohnya. Kalau fokusnya masih sekolah, karir, organisasi, dll, tanpa ada keresahan berarti dalam masalah pencarian pasangan hidup, ya bisa jadi perkara jodoh ini memang belum masuk dalam kebutuhan, walaupun bukan berarti juga tidak butuh untuk dipersiapkan dari jauh-jauh hari.
Dalam hal ini, kita juga perlu membedakan mana yang hanya keinginan dan mana yang sudah menjadi kebutuhan. Karena nanti dalam proses selanjutnya, akan kelihatan bahwa dorongan yang berupa keinginan biasanya hanya akan memunculkan ketergesa-gesaan sementara kebutuhan akan memunculkan penyegeraan menuju pernikahan.
Dalam ketergesa-gesaan, bermacam faktor kesiapan sebelum pernikahan akan terpaksa dimunculkan dan seperti disiap-siapkan. Sementara dalam proses penyegeraan, kapan pun pasangan ta'aruf kita ibaratnya meminta dinikahi baik bulan depan atau malah minggu depan, kelancaran dan pertolongan Allah seperti dilalahnya banyak turun ke bumi untuk memudahkan, karena pada dasarnya kitanya sendiri memang sudah siap betulan. Apalagi jika ridho orangtua dari kedua belah pihak sudah ada di tangan. Wah, insyaaa Allah berkah deh tuh pernikahan.
Tapi yang ridho sebenar-benarnya ikhlas dan meridhoi lho ya, bukan yang hanya sampai kepada tahap mengizinkan saja. Karena ada kisah seorang bapak yang merestui anak perempuannya menikah dengan seorang mualaf, tapi beliau juga bilang begini kepada puterinya, "Kamu sudah Bapak besarkan sebegini susahnya dengan ajaran iman, yang benar saja sekarang kamu pilih orang seperti dia untuk jadi imam kamu, Nak?" Hingga akhirnya si perempuan tersebut menyesal di kemudian hari karena suaminya memang susah diajak untuk beribadah kepada Ilahi. Ya... walaupun tentu saja, kisah ini juga merupakan bagian dari takdir dan ladangnya mengeruk kemuliaan dari kesabaran bertahun-tahun yang ia jalankan.
Sementara itu, saya pribadi mulai merasa butuh menikah ketika sadar bahwa sebagai muslimah yang tinggal di negara minoritas muslim seperti Jepang ini, keberadaan mahram memang sangat diperlukan. Wanita memang sudah dari dulunya dijelaskan sebagai makhluk yang rentan akan fitnah. Dari depan, belakang, samping kanan dan samping kiri, syetan akan membuat seorang wanita terlihat indah dari sudut mana pun ia dipandang. Rasanya, ingin sekali saya menaikkan level penjagaan diri ini ke dalam tahap penjagaan hati, dimana tidak ada lagi satu pun nama laki-laki di qalbu ini yang termunculkan dalam harapan dan angan-angan tidak berarti.
Sejauh ini, menjadi muslimah di Jepang yang mengaplikasikan hukum tutup-menutup aurat dengan cara terbilang syar'i, menjaga adab pergaulan dengan lawan jenis, dan tidak melegalkan bersentuhan tangan atau merangkul kawan laki-laki, pada dasarnya terbilang mudah untuk dijalani karena ada kain hijab yang menjadi simbol pertahanan diri. Level penjagaan diri terceklis. Tapi berbicara soal hati, siapa lagi yang bisa tahu kotornya hati ini selain yang Maha Memiliki hati?
Maka kemudian saya telaah lagi bahwa urusan tentang bersih-membersihkan hati dari kekaguman yang membumbung tinggi kepada seorang makhluk, ternyata sejalan dengan prinsip pernikahan dimana penyatuan kedua insan bukan ditujukan untuk sekadar melepaskan kesendirian, tapi untuk memantapkan langkah agar bisa saling dukung dalam mencapai tujuan yang sama-sama dicita-citakan di masa depan, yaitu; Jannah. Ada proses tauhid yang mendasari, yaitu pemurnian cinta kepada Pemilik Cinta.
Karena pada hakikatnya ―kata seorang guru saya di Insan Cendekia, pernikahan itu memuliakan, khususnya memuliakan perempuan. Suka atau tidak suka, pada kenyataannya di masyarakat kita, pernikahan menempatkan perempuan secara baik dalam status sosial masyarakat. Juga kata guru tersebut, perempuan yang diketahui telah menikah jadi tidak gampang untuk diganggu atau dimainkan hatinya, khususnya oleh para laki-laki yang bukan mahramnya.
“Seseorang semestinya memutuskan bersama orang lain karena menemukan keutuhannya tercermin, bukan ketakutannya akan sepi.”
Kembali lagi kepada pembahasan sebelumnya tentang pilihan menikah atau puasa. Kedua pilihan tersebut, menurut saya, adalah pilihan mutlak yang kalau kita tidak bisa mengambil pilihan pertama untuk saat ini, maka pilihan kedualah yang harus kita ambil, yaitu; puasa.
Sementara rangkaian perbaikan diri yang menyuruh kita untuk berhijab syar'i, rajin mengaji, rajin sedekah, rajin ke masjid, dll, adalah nasihat yang kalaupun saat ini kita belum ada niatan untuk menikah, sudah seyogyanya diterapkan ke diri kita dari jaman baheula sebelum kita mengerti pentingnya sunnah Nabi tentang menikah ini dalam penggenapan separuh agama. Maka perlu kita ingat, satu-satunya amalan yang dikaitkan dengan menikah ialah berpuasa sunnah.
Kebanyakan yang kita pahami, puasa sunnah yang dimaksudkan dalam hadits riwayat Bukhari di atas seolah-olah ditekankan untuk hanya meredam nafsu syahwat saja. Kalau begitu, kasarnya, bisa saja seorang pemuda bilang, "Ya gue masih bisa tahan kok belum sampe keseringan mastur****. Jadi belum perlu se-hardcore itu sampe harus puasa segala. Emang gue segitu kebeletnya?"
Nah, karena merasa masih bisa tahan itulah, kebanyakan muda-mudi yang ada dalam proses menyiapkan diri untuk menikah malah melalaikan amalan yang satu ini sebab pemahaman mereka tentang puasa sunnah hanya dikorelasikan sebagai benteng nafsu seksual saja. Apalagi sifatnya kan sunnah. Belum lagi kalau puasa Senin-Kamis atau puasa Nabi Daud itu kan membutuhkan kesiapan fisik ekstra. Tambah-tambah saja alasan untuk tidak memulainya.
Padahal, bisa dikatakan, justeru puasa sunnah itulah yang dimaksud dengan sebenar-benarnya memperbaiki diri dalam rangka pemantasan diri menuju pernikahan, karena amalan puasa sunnah akan menghadirkan semangat untuk menuju ke amalan lain seperti yang disebutkan di awal; berhijab syar'i, rajin mengaji, rajin sedekah, rajin ke masjid, dll. Saat sedang berpuasa, kita jadi cenderung untuk lebih memperhatikan apa yang kita kerjakan dan ucapkan. Ada semacam kontrol diri yang berlaku lebih ketat dari biasanya. Juga keterpacuan untuk menjalankan syariat lebih bersemangat.
Lagipula, puasa ialah amalan yang paling tidak kelihatan oleh manusia. Ketika kita berpuasa, bisakah orang lain menyadari tanpa kita beri tahu? Kecuali jika dari mulut kita keluar semerbak 'harum' yang bisa membuat orang berhusnudzan kalau kita memang berpuasa dan tidak bersu'udzan bahwa kita lupa menyikat gigi pagi tadi. Hehe. Maka dari itu, karena Allah sajalah yang tahu bahwa kita sedang berpuasa dan Allah jugalah yang paling bisa menilai, maka point ini bisa menjadi landasan keikhlasan, bahwa perbaikan diri kita memang semata-mata hanya untuk Allah saja.
In my case, bisa dibilang puasa sunnah malah berperan sebagai 'pancingan' terhadap rezeki menikah. Saya memulai puasa Nabi Daud (lagi, ―karena dulu di IC pernah memulai namun sayang tidak diizinkan Ayah karena khawatir akan jadi terlalu kurus-kering-kerontang) sejak tanggal 5 Oktober 2015; hari pertama Fall Semester 2015 dimulai. Hanya tiga bulan dari hari itu, saya bertemu dengan Umair-san di tanggal 9 Januari 2016.
Kalau mau hitung-hitungan, jaraknya hanya tiga bulan berselang, belum dikurangi dengan waktu datang bulan dimana saya alpa berpuasa. Bu Pur; orang yang membawa saya kepada perkenalan dengan Umair-san, juga berpuasa Nabi Daud selama satu bulan sebelum akhirnya bertemu dengan Salman-san, pasangan hidupnya sekarang. Bedanya dengan saya, Bu Pur malah berhenti berpuasa ketika Salman-san fix melamar beliau, sementara sekarang saya diwanti-wanti sekali oleh Bu Pur untuk tetap lanjut berpuasa sampai waktu akad nikah tiba.
Keputusan saya untuk puasa Nabi Daud berdasar pada kepraktisan saya dalam memahami hadits Bukhari tadi. Butuh menikah? Hanya dua solusi; menikah itu sendiri atau puasa sunnah. Karena kesiapan saya belum dapat menyegerakan saya menuju pernikahan, maka saya jalankan puasa Nabi Daud saja.
Secara instant, motif puasa sunnah ini tampak tidak ikhlas karena Allah, ya? Karena tujuannya untuk memancing rezeki sebesar jodoh, begitukah? Tapi jika dipikir kembali, solusi berpuasa sunnah ini merupakan bentuk ketawakkalan kepada apapun yang Allah pilihkan untuk kita. Karena ibaratnya, kita ini kan meminta jodoh, tapi kok malah disuruh puasa sunnah? Kita lalu berpuasa saja dan pasrah, tanpa tahu apa yang sebenarnya Allah siapkan untuk kita sebagai jawabannya. Seperti Nabi Ibrahim yang manut saja perintah Allah untuk menyembelih puteranya tanpa tahu bahwa sebetulnya Allah menyiapkan seekor sapi untuk menjadi pengganti sembelihannya.
Atau, sama halnya ketika kita bersodaqah untuk memancing datangnya rezeki yang lebih melimpah-ruah, bukan berarti sodaqahnya jadi terbilang tidak ikhlas, kan? Justeru karena terlalu percaya pada janji Allah lah kita melakukannya. Bahwa ketika kita meminuskan harta kita di jalan Allah, maka nanti Allah tambahkan materi kita berlipat-lipat, bahkan bisa sampai surplus!
Maka kembali lagi kepada bahasan tentang amalan puasa sunnah sebagai pemancing datangnya rezeki menikah, niat ini menjadi sah-sah saja sebagai bentuk kepercayaan kepada cara Allah yang memfasilitasi kita dengan jalan berpuasa sunnah sebagai ikhtiar untuk menggenapkan separuh agama.
Oleh karena itu, daripada terus-terusan posting di media sosial tentang niatan kita untuk menikah atau mengobral ke khalayak tentang keadaan kita yang menunggu datangnya sang jodoh impian dengan kode-kode tak berarah, mendingan langsung action saja dan biarkan Allah sajalah yang menilai. Karena 'cinta dalam diam' tidak hanya sebatas merahasiakan perasaan cinta kepada orang yang kita suka dengan tidak menyatakannya, tapi konsep 'cinta dalam diam' juga membutuhkan usaha perbaikan diri yang sama rahasianya di hadapan makhluk Allah yang lainnya. Sepakat? Yuk sama-sama berbenah dan luruskan niat! Jangan lupa berdoa dan minta pertolongan Allah agar dimudahkan.
*note: awal ditulis sejak semingguan sebelum menikah dan diselesaikan pada hari ini, 26 Maret 2016; minggu kelima pernikahan saya dan suami tercinta.