Aku tak tahu syariat Islam
Yang kutahu sari konde Ibu Indonesia sangatlah indah
Lebih cantik dari cadar dirimu
Gerai tekukan rambutnya suci
Sesuci kain pembungkus wujudmu
(Penggalan puisi Sukmawati Sukarnoputri)
***
Membandingkan konde dengan cadar, selain bentuk kesalahkaprahan bisa juga merupakan buah kesempitan cara berpikir. Konde diciptakan untuk mempercantik, sementara cadar disyariatkan untuk menutupi kecantikan. Adalah komparasi yang miskin kehati-hatian jika kedua benda yang tujuannya jelas saling kontras begitu harus dibandingkan dalam satu standar yang sama, yaitu keelokan/estetika.
Lalu, apakah ‘ulah’ Bu Sukma membacakan puisi beliau di ajang pagelaran kebaya karya Bunda Anne Avantie bisa dikategorikan penistaan agama? Sejujurnya —tanpa sedikit pun mengurangi rasa percaya saya terhadap syariat bercadar bagi kaum muslimah karena saya sendiri pun adalah wanita bercadar, saya pribadi berpendapat bahwa hal tersebut bukan bentuk penistaan agama melainkan aksi penuh kecerobohan saja. Kenapa? Karena dari awal saja Bu Sukma sudah bilang "Saya tidak tahu syariat Islam", akan berbeda jadinya jika Bu Sukma melantun "Saya tahu syariat Islam itu salah/bohong/jelek".
Sebagai seorang budayawati, Bu Sukma cukup ceroboh jika harus mengindetikkan kecantikan Ibu Indonesia hanya dengan konde, karena faktanya Indonesia sendiri terdiri dari 35 provinsi dengan muatan kultur dan persepsi cantik yang berbeda-beda di tiap budayanya. Wanita Minang yang memakai tengkuluk tanduk dan wanita Papua yang berambut pendek tidak mesti berkurang ke-Ibu Indonesia-annya hanya karena tidak berkonde. Pahlawan Nasional seperti Hj. Rasuna Said dan Hj. Siti Walidah (isteri KH. Ahmad Dahlan) tidak luntur kepahlawanannya sebagai Ibu Indonesia hanya karena mereka memilih membungkus wujud cantiknya dengan selembar kain kerudung di kepala. Begitu pun dengan saya dan ribuan wanita Indonesia lain yang juga bercadar, tidak lantas membuat kami keluar dari barisan Ibu Indonesia. Rasa-rasanya, kalau “diskriminatif” masih terdengar terlalu kasar, bolehlah kiranya saya menamai pola pikir Bu Sukma sebagai “etnosentrik”; dimana Bu Sukma hanya menggunakan latar belakang budaya Jawanya untuk menilai kecantikan para wanita di Indonesia dalam sekala nasional yang ia beri judul “Ibu Indonesia”.
Kecerobohan lain Bu Sukma berasal dari luputnya ia meninjau sebuah budaya asli dari Bima, Nusa Tenggara Barat, dimana kain sarung bernama “rimpu” hasil tenunan warganya digunakan untuk menutupi bagian tubuh wanita daripada khalayak yang dianggap tidak berhak melihat kecantikannya. Tidak hanya membungkus wujud wanita sampai badan dan kepala, rimpu harus juga dibalutkan menutupi wajah kecuali bagian mata persis seperti cadar jika si wanita belum menikah. Asimilasi budaya sarung dan syariat menutup aurat ala ajaran Islam yang sudah mengakar sangat lama di Bima dan mengharmoni dalam rimpu menjadi bukti tersendiri bahwa Ibu Indonesia tidak hanya terdiri dari wanita cantik yang berkonde tapi juga wanita cantik yang memilih menutup kecantikannya.
Berangkat dari pemikiran di atas, walaupun suara saya tidak mutlak mewakili kaum wanita bercadar, saya pribadi tidak marah terhadap aksi puisi Bu Sukma namun sangat wajar rasanya kalau saya cukup tersinggung. Saya tersinggung karena Bu Sukma duluan lah yang menyinggung cara berpakaian saya di tempat dimana ia seharusnya bisa fokus mempuisikan keindahan cara berpakaiannya sendiri. Kalau menurutnya konde indah, kenapa harus sembari bilang bahwa yang lain tidak indah? Kalau mau bilang “saya cantik” kenapa mesti pakai redaksi “saya cantik karena dia lebih jelek”? Bukannya kata orang bijak, a flower does not think of competing to the flower next to it, doesn't it just bloom? Lagipula, Anne Avantie itu jualan kebaya, bukan jualan konde. Tanpa dibandingkan dengan cadar pun, kebaya Anne Avantie sudah tersohor ke seluruh negeri, kok.
Maka dari itu, benarlah apa yang diucap para ulama. Orang yang tidak beriman, janganlah campuri urusan umat Islam karena tidak akan pernah nyambung jadinya. Tidak akan sama penilaian orang yang beda hati-beda keyakinan dalam memandang suatu hukum agama. Bagi kita ketaatan, baginya dogma. Bagi kita pilihan, baginya paksaan. Kepada hati yang masih marah dan tidak terima, mari berkaca lagi benarkah syariat Islam yang sedang kau bela dan bukan egoisme serta ikut arah angin semata? Karena sejatinya membela syariat Islam seharusnya dimulai dengan menegakkan syariat Islam itu sendiri di kehidupan sehari-hari, bukan malah baru membela dengan ikut berkoar hanya saat ada yang menyinggung/menghinanya saja. Terakhir, semoga kita semua dilindungi dalam hidayah istiqomah-Nya dan Indonesia selalu damai sentosa saja. Amin-kan ya?
Referensi:
http://sejarahlengkap.com/tokoh/pahlawan-nasional-wanita
Foto: Google
Foto: Google