Dari banyaknya kenikmatan bisa tinggal di luar negeri, penyadaran akan betapa beruntungnya saya terlahir sebagai seorang muslim adalah hal yang paling patut saya syukuri. Tinggal selama tiga tahun di Jepang telah mempertontonkan saya banyak kejadian istimewa, mulai dari menyaksikan perantau muslim yang cara hidup dan pilihan makan-minumnya sama sekali tidak Islami, segelintir laki-laki muslim yang hari Jumat ke masjid lalu Sabtu malamnya ke bar, di sisi lain banyak juga perempuan muslim yang justeru memutuskan pakai hijab di Jepang dan bukan di negara asal mereka yang mayoritas penduduknya beragama Islam, lalu mendengarkan dengan kuping sendiri lantunan syahadat seorang perempuan Jepang dan Amerika yang masuk Islam di dua kesempatan berbeda, kemudian berjajar di satu shaf yang sama dengan mualaf Vietnam yang getol tarawihan di masjid bulan Ramadhan lalu, hingga berteman dekatnya saya dengan seorang mualaf Jepang yang sekarang istiqomah memakai cadar.
Baru-baru ini, masih dalam lingkaran pertemanan yang sama dengan saya, ada seorang muslimah berhijab dari keluarga campuran Jepang-Pakistan yang lama tidak saya lihat di kampus lalu tahu-tahu kabar menyebutkan bahwa ia telah masuk agama kristen dan kini telah melepas hijabnya, padahal saya ingat betul Ramadhan tahun 2015 lalu saya masih sering tarawihan bersamanya. Sementara itu, di fragmen kehidupan teman dekat saya yang lain yang keluarganya campuran Jepang juga, ia memilih patuh pada ajaran sang ibu untuk berislam namun sebetulnya seringkali ia mengaku kepada saya bahwa ia tidak betul-betul yakin tentang keberadaan Allah sebagai tuhannya.
Pada akhirnya, kesemua pengalaman tersebut membuat saya benar-benar sadar bahwa hidayah itu hanya ada di tangan Allah semata. Kepada siapakah Allah ridho memberikan nikmat berupa kepercayaan terhadap dzat-Nya adalah misteri luar biasa. Dan sungguh, mendapati kenyataan bahwa saya adalah seorang muslimah yang lahir dari rahim seorang muslimah juga, telah membuat saya merasa sangat beruntung namun juga takut jika (na'uudzubillah) Allah mencabut nikmat ini sewaktu-waktu. Yudhillu man yasyaa-u wa yahdiy man yasyaa (An-Nahl: 93)
Sebagai seorang lulusan sekolah Islam berasrama, awal-awal kehidupan saya di negeri non-muslim ini sangat berat dan penuh keterkejutan. Saya kaget terhadap banyak hal di Jepang yang berbeda dengan cara hidup saya di fase kehidupan sebelumnya. Memaklumi nalar orang lokal yang dari dulunya memang bernenek-moyangkan penganut Budha atau Shinto sih masih bisa saya absahkan, tapi saya sangat norak ketika mengetahui di lapangan bahwa beneran ada orang Islam yang hidupnya bisa baik-baik saja tanpa harus meritualkan shalat dan berbakti kepada Allah.
Saya jadi mempertanyakan banyak hal dan mulai membanding-bandingkan keadaan saya dan orang lain untuk dikaitkan dengan keadilan Allah. Tapi lama-kelamaan, mungkin karena kuatnya doa kedua orangtua saya di kampung halaman, susahnya proses awal adaptasi saya di Jepang malah kemudian mengantarkan saya untuk bertemu dengan sebuah komunitas bernama Taslima, kepanjangan dari Komunitas Muslim Oita.
Orang-orang dalam komunitas tersebutlah yang kemudian mengenalkan saya bahwa menegakkan agama Allah dimana pun kita berada adalah keharusan yang sangat memungkinkan untuk dijalankan, kecuali jika kitanya saja yang permisif terhadap aktivitas pengurangan iman atau ngoyo dan pada dasarnya tidak mau peduli atau tidak mau tahu saja.
Memangnya yang bisa mengukur mungkin atau tidak mungkin itu siapa sih? Toh segala kekuatan hanya berasal dari Allah sementara Islam adalah agama yang Allah ridhoi dan Allah lah yang menegakkan Islam di muka bumi ini hingga sekarang. Jika kita mau membumikan syariat Allah dimana pun kita berada, bukankah Allah juga yang akan tolong kita? Berarti kuncinya ada pada diri kita sendiri, apakah kita yakin terhadap adanya pertolongan Allah apa tidak, karena sejatinya Dia dapat mempermudah segala hal yang makhluk-Nya selalu anggap sulit. Fa inna ma'al 'usri yusraa. Inna ma'al 'usri yusraa (Al-Insyirah: 5-6)
Dalam soal memilih makanan, saya diajarkan para penggiat komunitas Taslima cara menilik dan membedakan makanan dan minuman mana yang tidak bisa dikonsumsi bagi muslim jika dilihat dari tabel ingredients yang tertera, yaitu dengan menghafalkan beberapa karakter kanji yang artinya merupakan bahan-bahan haram; seperti sake, pork, dan lain-lain. Ada juga beberapa bahan seperti shortening, emulsifier dan aminosan yang tidak mutlak haram melainkan perlu ditelusuri lagi asalnya dari tumbuhan atau dari hewan, yakni dengan menelepon ke perusahaan produsen dari produk tersebut atau mengecek di Facebook fanpage yang rutin meng-up date produk-produk yang sekiranya mencurigakan. Contoh fanpage-nya bernama: Halal Japan, Serijaya Indonesia, dan Nippon Asia Halal Association - NAHA.
Pada awalnya, saya kaget begitu tahu bahwa untuk perkara sesimpel permen, biskuit, olahan seafood, atau kopi kemasan saja bisa-bisanya sampai enggak halal dikonsumsi. Pun di beberapa bulan pertama saya di Jepang, saya belum ngeh kalau ayam potong yang dijual di Jepang itu tidak halal, padahal saya juga belajar Fiqih semasa sekolah dan jelas-jelas tahu bahwa salah satu syarat daging potong yang halal itu ya harus yang disembelih dengan membaca bismillah dan penyembelihnya juga harus orang beriman.
Sayangnya, di bulan-bulan awal tersebut saya seperti enggak ngeh aja gitu. Makanya ketika saya mendengar ada seorang senior yang menyebut istilah "ayam halal" pertama kalinya, kuping saya merasa asing dengan istilah itu dan mulai kritis, memangnya ada ayam yang enggak halal? Barulah dari situ saya seperti menyadarkan diri saya lagi bahwa negara yang sedang saya pijak bukanlah negara bermayoritas muslim, tapi Jepang! Hhm... benar juga ya, memangnya tukang jagal ayam disini baca bismillah saat menyembelih binatang ternak mereka?
Sejak saat itu saya jadi lebih berhati-hati dalam perkara memilih makanan, karena yang saya tahu, ada sebuah hadits shahih yang menyebutkan bahwa syarat diterimanya doa adalah jika apa-apa yang kita makan dan kita pakai bersumber dari materi dan cara mendapatkan yang halal atau lewat jalan yang Allah ridhoi. Semoga Allah menerima taubat saya atas banyak ketidaktahuan saya di masa-masa awal saya tinggal di Jepang. Maklum saja, saya tidak pernah melancong ke luar negeri sebelumnya.
Selain cara memilih makanan, hidayah Allah juga menyeluruh di segala macam aspek kehidupan seorang muslim. Dengan hidayah-Nya, Allah menuntun kita melalui taufiq-Nya mulai dari seni menutup aurat, keterampilan berukhuwah di dunia nyata dan di dunia maya, sampai keputusan-keputusan hidup untuk masa depan kita sehingga kita bisa menuju kampung halaman yang sebenarnya ada di akhirat sana.
Dulu, memahamkan diri saya terhadap sikap salah satu teman baik yang menentang acara bukber dimana venue-nya menempatkan laki-laki dan perempuan pada satu tempat yang sama; rasanya susah sekali. Saya mendebatnya dengan logika saya yang apa adanya tanpa pernah berpikir soal urusan syar'i.
Dulu, saya tidak pernah berpikir bahwa saya akan pakai cadar seperti sekarang, karena saya yakin bahwa menutup aurat yang standar-standar saja asal kerudung menutup dada serta tidak terawang juga sudah baik. Dulu, mana pernah saya tahu bahwa musik telah disepakati empat ulama mazhab sebagai perkara yang haram. Dulu, mana pernah terpikir bahwa saya akan bersuamikan seorang laki-laki dari mazhab Hanafi, wong melihat perempuan-perempuan bermazhab Hanafi yang shalat tanpa menutup kaki saja saya masih berpikir bahwa praktik mereka salah padahal saya lah yang tidak paham atau kurang ngaji.
Dulu, konsepsi saya tentang rezeki juga masih berbatas pada materi. Sementara semakin saya mendewasa, pengalaman hidup saya telah membawa saya pada pemahaman bahwa petunjuk Allah, kesempatan untuk masih bisa shalat lima waktu, teman-teman yang baik, dan ilmu-ilmu baru adalah rezeki dari Allah yang bobotnya lebih luar biasa ketimbang segepok uang di depan mata.
Sekarang saya jadi sadar, bahwa ternyata hidayah Allah tidak selesai sampai pada berikrarnya kita sebagai muslim atau bersyahadatnya seorang kafir menjadi mualaf saja, tapi juga mengejawantah dalam bentuk taufiq-Nya. Ialah petunjuk-Nya supaya kita bisa lebih paham ilmu agama sehingga bisa benar-benar mengaplikasikan Al-Qur'an dan sunnah Nabi Muhammad di segala aspek kehidupan kita.
Saya juga jadi paham bahwa ada beda antara ilmu dengan hidayah. Ilmu hanyalah sebatas tahu, sementara hidayah adalah cahaya Allah yang menuntun kita untuk mempraktikkan ilmu yang sudah kita tahu tersebut ke dalam lifestyle atau keseharian kita.
Itulah sebabnya banyak dikatakan, bahwa ilmu ada yang berkah dan ada yang tidak berkah. Ilmu yang berkah jelas akan membawa kita lebih dekat kepada-Nya; tentu saja dengan seizin-Nya. "Sayangnya, kita masih sering menyangkal Al-Qur'an dan sunnah dengan akal dan logika kita padahal akal dan logika kita dicipta agar memudahkan kita memahami Al-Qur'an dan sunnah," begitulah kata seorang ustadz dari Malaysia yang pernah saya dengar ceramahnya.
Maka dari itu, marilah terus meminta hidayah kepada-Nya agar kita dimudahkan memegang agama-Nya dimana pun kita berada; karena seseorang bisa saja jadi pemuka agama di Amerika sementara seorang lainnya bisa jadi pezina di Mekkah sana.
Walaupun benar lingkungan tempat tinggal kita sangat berpengaruh pada kemudahan kita mempraktikkan agama-Nya, tapi perkara soal kepada siapakah hidayah-Nya akan masuk ke sanubari manusia tetap saja merupakan hak Allah dan juga urusan hati masing-masing dari kita. Oleh karena itu pula, marilah terus membaca "yaa muqallibal quluub tsabbit quluubanaa 'alaa diinikal islaam" setiap hari karena tidak ada jaminan bahwa kita akan mati dalam keadaan masih sebagai muslim/ah.
Mari lebih teliti meratapi dosa sendiri ketimbang dosa orang lain meskipun kita tetap diwajibkan untuk saling mengingatkan antar teman atau saudara. Mari menjemput hidayah-Nya walaupun sedikit demi sedikit karena deadline kita yang sebenarnya adalah saat ajal tiba. Selepas itu, tidak ada lagi kesempatan menjemput hidayah-Nya melainkan bertopang hanya pada ampunan dan syafaat rasul-Nya semata.
Walaupun benar bahwa manusia dicipta tidak sempurna, tapi Allah juga memfasilitasi kita dengan pintu taubat. Walaupun benar seorang muslim bisa saja masuk surga bukan karena diterimanya seluruh amalan ibadah melainkan karena syafaat Rasulullah semata, tapi bukankah akan berbeda level surga orang tersebut dengan muslim yang dari semenjak hidupnya di dunia sudah berusaha mengejar pahala dan ridho dari-Nya?
Maka teruslah meminta kepada-Nya agar diberikan hidayah separah apa pun keadaan iman kita sekarang atau sejauh apapun kita dari-Nya saat ini. Maka teruslah berdoa atau setidaknya berimajinasi saja bahwa kelak kita bisa jadi sesosok muslim yang kaffah. Karena kapan hidayah Allah datang untuk kita adalah rahasia-Nya sementara kita perlu berikhtiar juga untuk menjemputnya. Pun, berdoalah untuk keluarga dan teman-teman yang belum mengenal Islam, karena tidak pernah ada doa tulus yang sia-sia. Insyaaa Allah...