If I'm not mistaken, this's my second time receiving postcard from Netherlands. The first one was from Kak Icha Maisya, an Insan Cendekia alumna who that time was studying master program in Groningen after coming back from her great one year exploration being Pengajar Muda in Bawean, Madura. Now I'm showing y'all the card from Kak Listya! She's an APU alumna who graduated last September and now is continuing her master degree program in Tilburg. I was so much excited to open the envelope once I handed it, because no one has ever sent me postcard using envelope before. I expected something nice coming out from this white A6-sized paper, then I turned out soooooo happy to know that she also inserted a sachet of heavenly-tasted Netherlands waffle along with the postcard itself. So much thank you for you, Kak!
Sending thousands love from this small town that is missing you back!
Hari ini adalah hari ulang tahun Ibuk. Barakallahu laki, Ibuk!
Siapakah Ibuk?
Ibuk adalah orang tua saya di Beppu. Anggap saja saya ini adalah anak angkatnya beliau. Nama lengkapnya adalah Noviana Litasari, asli wong Semarang tulen. Beliau adalah orang Indonesia pertama yang datang menetap di Beppu dari sekitar 25 tahun lalu, jauh sebelum Ritsumeikan APU berdiri. Ibuk adalah pengajar bahasa Indonesia di salah satu SMA swasta di Beppu.
Semua yang mengenal Ibuk, pasti tahu bahwa Ibuk sangat-amat identik sekali dengan kegiatan memasak. Ibuk terkenal sekali dengan masakan lezatnya. Semua sajian yang terhasilkan dari dapurnya pasti dijamin enak. Tangan Ibuk itu seperti punya magic. Dari mulai makanan pendamping nasi sampai jajanan pasar, dari rasa khas Indonesia sampai a la Negeri Sakura juga bisa dijajal oleh beliau. Selain mengajar, Ibuk juga berjualan bento (makan siang) ke anak-anak APU yang terjadwal beberapa kali dalam seminggu, dengan saya sebagai Marketing Assistant-nya. Ceileh.
Semenjak April 2015, sekembalinya dari cuti satu semester di APU, saya tinggal di rumah Ibuk dengan suaminya dan Aya-chan anak bungsunya yang baru masuk APU tahun ini. Anak pertama Ibuk yang laki-laki tinggal di rumah lantai dua dengan isteri dan kedua anaknya, Rui-chan dan Taiki-kun. Sementara anak keduanya –Kak Lisa, tinggal bersama suaminya di Tokyo dan bekerja disana.
Jika ditanya kenapa Ibuk bisa “tersasar” ke Beppu, itu karena Ibuk menikah dengan orang Jepang yang asli orang Beppu. Dulu, ketika Ibuk masih SMP kelas 2, ada seorang Jepang yang tengah bekerja di Indonesia dan kebetulan bekerjasama dengan kantor bapaknya Ibuk. Apa mau dikata, namanya cinta memang tidak bisa ditebak datangnya dari mana. Ketika Ibuk dikenalkan kepada orang Jepang tsb, ternyata benih cinta mulai tahu arah sasarannya bermuara kepada siapa. Setelah menunggu delapan tahunan lamanya dari waktu itu, dan setelah melewati LDR surat-suratan sekian lama karena pria tsb dipindah-tugaskan kembali ke Jepang, Ibuk kemudian dinikahi pria Jepang yang juga dicintainya itu. Padahal, saat itu Ibuk baru lulus D2 dan langsung saja dibawa ke Jepang oleh suaminya.
Ibuk adalah saksi dari banyak sejarah di Beppu. Bayangkan saja, Ibuk sudah tinggal di Beppu bahkan ketika Beppu masih sepi dan (katakanlah) belum ada apa-apa. Barulah sekian tahun setelah masa tinggalnya di Beppu, APU kemudian berdiri di atas tanah Jumobjibaru. Saya jadi berpikir bahwa bisa jadi berdirinya APU di kota ini adalah jawaban dari doa-doa Ibuk yang kesepian karena menjadi warga asing “sendirian” di tempat ini dan menjadi satu-satunya orang Indonesia di Beppu.
Memang sih, ada beberapa orang Indonesia juga yang Ibuk kenal dan mereka adalah mahasiswa-mahasiswa Oita University (Bundai) yang menuntut ilmu di kota sebelah. Salah satu dari mereka adalah Pak Dahlan, yang sekarang menjadi dosen APU asli Lamongan, yang selulusnya dari SMA mendapatkan beasiswa Pak BJ Habibie untuk berkuliah di Bundai. Berarti Ibuk juga menjadi saksi hidup transformasi Pak Dahlan dari beliau umur 19 tahun hingga sesukses sekarang di APU –dan sekarang sudah punya keluarga beranak dua.
Ibuk juga penyimpan banyak sekali cerita di kota ini. Terutama cerita tentang banyak alumni APU. Tentang perjuangan alumni-alumni APU yang kere tapi kece, yang kaya banget tapi kerjanya main saja, atau yang sangat kaya sekali tapi sekaligus kece juga. Ibu juga saksi dari banyak pernikahan angkatan-angkatan atas APU. Ibu kenal dekat dengan banyak anak APU-Indonesia dari mulai angkatan pertama yang berjumlah hanya delapan orang saja hingga sekarang anak Indonesia yang datang ke APU per tanggal 18 September 2015 kemarin sudah mencapai 100-an jumlahnya. Walaupun semakin kesini, karena saking banyaknya orang Indonesia di APU, lebih banyak yang tidak Ibuk kenal dibanding yang Ibuk kenal. Kecuali anak-anak yang sering datang ke masjid, ikut pengajian, atau pesan makanan ke Ibuk, pastilah Ibuk kenal.
Ibuk juga mengalami masa-masa sulit menjadi orang Islam di kota ini. Dulu, sebelum ada masjid, Ibuk bersama-sama warga negara asing muslim yang lain mengadakan pengajian dengan venue berganti-gantian dari rumah ke rumah, dari apato ke apato. Ketika Idul Fitri dan Idul Adha datang, mereka melaksanakan shalat Ied berjamaah di kominkan (baca: komingkang, semacam kantor desa kalau di Indonesia).
Ibuk dan muslim lain sempat juga mengadakan penyembelihan ayam dengan cara halal bersama-sama. Dan hingga Masjid Beppu bisa menjadi seperti sekarang, tentu juga karena banyak kontribusi Ibuk di dalamnya, yang juga telah diimpikan oleh banyak muslim lainnya di kota ini beberapa tahun silam.
Ibuk adalah seorang ummi yang membesarkan tiga anak berdarah Jepang-Indonesia yang harus dikenalkan kepada siapakah tuhannya dan apa agamanya, tapi di saat yang sama, kehidupan di Jepang sini banyak sekali yang berbentrokan dengan ajaran yang Ibuk berikan untuk mereka bertiga. Ibuk adalah ummi yang begitu kuat. Seorang ummi yang teduh-terang raut wajahnya dan kita sebagai orang yang pertama kali melihat, akan langsung tahu bahwa Ibuk memang berhati malaikat.
Rasa bergantung Ibuk kepada Allah sangat tinggi. Ibuk selalu saja seperti lupa bahwa apa yang beliau berikan kepada orang lain itu butuh waktu dan biaya. Selain dari ayah saya, saya belajar ilmu tentang bergantung pada Tuhan dan ilmu tentang melupakan pemberian kita untuk orang lain dari Ibuk juga.
Ibuk itu orang dermawan yang paling tidak sadar bahwa dirinya itu dermawan. Kalian tentu tahu rasanya kan, jika berbicara dengan orang berilmu dan sangat pintar tapi sama sekali tidak sadar bahwa dirinya berilmu tinggi dan malah merendah di depan kalian?
Nah, dalam hal beri-memberi dan kedermawanan, Ibuk seperti itu juga. Ibu seperti selalu otomatis dan selalu spontan saja untuk berderma. Mungkin, memberi itu sudah menjadi “candu” buat Ibuk. Sehingga, tidak perlu waktu banyak bagi Ibuk untuk memutuskan bersedekah memberi kepada orang lain.
Wah, saya jadi membayangkan, jika di akhirat kelak Ibuk dimasukan ke surga karena timbangan kanan Ibuk lebih berat, mungkin Ibuk sendiri yang keheranan dari mana catatan amalnya bisa menjadi sebegitu banyak. Padahal Ibuk saja yang tidak sadar bahwa ketika beliau di dunia, sudah berapa banyak mahasiswa/i APU yang Ibuk beri makan, orang-orang yang puasa juga Ibuk beri makan, orang-orang di pengajian juga Ibuk beri makan, orang yang pesan makanan ke beliau saja sering diberi bonus-an. Dan, makanannya pun bukan sembarang makanan. Tapi makanan yang benar-benar enak dan mantap!
Coba bayangkan, jika Ibuk memberi seporsi nasi dan lauk kepada satu orang anak APU untuk berbuka puasa, Ibuk sudah pasti dapat pahala yang sama dengan puasanya anak itu. Terlebih, mahasiswa/i itu kan tergolong Ibnu Sabil yang menuntut ilmu di jalan Allah. Dan, berlipat-lipat lagi pahalanya karena Ibnu Sabil itu juga seorang Musafir yang meninggalkan rumah nun jauh disana. Satu kata “Terima Kasih” dari mulut anak tsb tentulah secara tidak langsung akan menjadi doa keberkahan bagi Ibuk. Apalagi jika setelahnya anak itu betulan memanjatkan nama Ibuk dalam doanya.
Dan itu baru berlaku untuk satu orang saja. Jika Ibuk memberikan santapan lezatnya untuk sepuluh orang, dua puluh orang, atau tiga puluh orang, wah betapa banyak ganjaran dan keberkahan yang Ibuk jadikan bekal untuk catatan amalnya kelak.
Sering sekali, ketika menyantap makanan hasil pemberian Ibuk untuk berbuka puasa, saya berpikir bahwa enak sekali ya jadi Ibuk. Saya yang puasa, tapi Ibuk juga dapat pahala. Hahaha. Masih mending jika puasa saya memang ikhlash karena Allah Ta'ala. Jika puasa saya tidak diterima, belum tentu puasa saya bernilai pahala. Tapi terlepas diterima atau tidaknya pahala puasa saya, makanan yang Ibuk berikan untuk saya berbuka tetap akan dinilai sebagai amal kebaikan untuknya. Enak kan jadi Ibuk? Hehehe.
Ibuk itu sangat gampang sekali mengucapkan, “Okay nanti kamu kukasih,” atau “Kamu mau, Ni?” atau “Nanti malem aku mau ngundang anak-anak untuk makan disini, Ni.” atau “Yaudah semuanya kalian bawa ya, yang di panci dan yang di piring.” atau “Ni, besok pagi kamu kuantar pake mobil ya ke coin laundry,” atau “Gak apa-apa Galuh sama Lintang saya antar aja sampai rumah,” dan lain-lain. Dalam kata yang lebih singkat, Ibuk itu seperti memang sudah ditakdirkan perannya sebagai “pelumas” bagi banyak masalah orang.
Ibuk banyak sekali menolong dan melapangkan urusan orang lain. Ibuk adalah salah satu contoh dari manusia yang bermanfaat kepada sesamanya. Walaupun tanpa jadi anggota NGO atau aktivis kegiatan sosial, Ibuk dapat memaksimalkan peran ibu rumah tangganya hingga dapat berguna juga untuk orang-orang sekitar.
Di hari kelahirannya ini, saya memang tidak memberinya apa-apa sebagai balas budi baiknya selama ini. Hanya banyak ke-semoga-an yang bisa saya lafalkan dalam rasa syukur di doa-doa saya dan juga doa orang tua saya untuk beliau. Semoga Ibuk selalu diberi nikmat beribadah dan kelak husnul khatimah.
Barakallahu laki, Ibuk! Kami sayang Ibuk!
Diinisiasi oleh saya ―Oita, Muthi ―Kyoto, dan Tio ―Hannover, dalam rangka merayakan ulang tahun kelima angkatan kami (#FSpancawarsa) di MAN Insan Cendekia ―Foranza Sillnova namanya, kami mengadakan semacam program korespendensi dalam tagar #KartuposUntukForanza.
Dari 120 anggota keluarga, kurang lebih ada 42 orang yang mendaftar dalam program ini, sudah termasuk Saya, Muthi dan Tio sebagai panitianya. Pada dasarnya, sistem korespondensi kartupos ini seperti merantaikan 42 orang dalam satu garis, dimana orang pertama akan mengirim ke orang kedua, orang kedua mengirim ke orang ketiga, hingga akhirnya akan kita dapati orang pertama menerima kartupos hasil kiriman orang ke-42. Jadi setiap orang akan tahu kepada siapa ia harus mengirimkan kartuposnya, tapi tidak tahu akan menerima kartupos balasan dari siapa. Semacam kado surprise di hari ulang tahun gitu deh...
Karena para pesertanya menyebar di Palembang, Jabodetabek, Bandung, Yogyakarta, Solo, Jember, Malang, Bali, Jepang, Mesir dan Jerman, maka saya, Muthi dan Tio mengusahakan agar setiap orang mengirim kepada peserta yang berdomisili di kota yang berbeda dengannya dan bukan teman dekat semasa dulu di Insan Cendekia.
Setiap kartupos yang dikirim, harus difoto dan diunggah ke media sosial dengan tagar #FSpancawarsa dan #KartuposUntukForanza. Pun dengan kartupos yang nanti diterima entah dari siapa pengirimnya.
Seru kan?
Tentang jejak. Tentang “Atsar”. Tentang bagaimana manusia mematrikan dirinya di bumi milik Tuhan. Sudah saya bilang, “raga” itu dari Tuhan. Sementara “diri”, manusia yang menghidupkan. Ada banyak perihal cara manusia menghidupkan dirinya. Dengan ru’yah. Dengan pandangannya. Dengan pengaruh. Dengan wibawa. Dengan segala teori soal asal muasal Tuhan dan kehidupan, hingga teori tentang kuman. Kali ini tentang bagaimana manusia, yang diberi raga dan dianugerahi sebuah diri, menentukan pilihan dalam kehidupan. Sebelum semua dikebumikan.
Ada semacam aliran dan pola pikiran, yang manusia bisa hinggapi sebagaimana alurnya menghendaki. Tapi kemudian, ketika zaman bergantian dan musim berpapasan, entah sufi dan pemikir rusak yang mana yang mengubah mufakat tersebut. Katanya, jadilah orang yang baru. Jadilah manusia yang berdikari tidak ikut kesana kemari. Katanya, buatlah sekenario sendiri. Ketika banyak orang mendayungkan rakitnya ke satu hilir yang sama, kelokanlah laju rakit yang kita tumpangi ke sebuah hilir baru meski keberadaannya pun belum tentu kita ketahui. Barangkali kitalah manusia pertama yang menyinggahi. Itulah beda invention dan discovery.
Manusia memperindah raganya. Sesekali lupa menghias dirinya. Menghias isi kepalanya. Membuka mata hatinya. Lupa pula menginjakan kaki ke pelbagai ranah yang menyelenggrakan sekolah kehidupan. Ternyata tidak sesekali. Manusia lupa banyak-banyak. Suatu hari manusia dipinta lagi raganya oleh Tuhan, manusia pasti akan sesali segalanya. Segala yang tidak sempat diraihnya, dikerjakannya, dirasainya, dicicipinya, dinikmatinya, disentuhnya, dijamahnya, dihelanya, diseriusinya, bahkan atas apa yang belum dikentutinya.
Lebih jauh lagi, setelah masa pengkebumian, setelah tersemat namanya sebagai alumni sekolah kehidupan, manusia lupa membuat jejak. Manusia lupa bertapak! Manusia membawa raganya beserta dirinya keluar dari bumi Tuhan. Padahal, sudah dibilang bahwa “diri” itu tentang kehidupan dan “raga” itu soal bernafas dari hidung, makan dari mulut, dan buang kotoran saja. Manusia lupa mematrikan eksistensinya di bumi Tuhan. Manusia lupa membuat ajaran. Lupa meneruskan perjuangan lewat teman sekawan, teman satu kuliahan, atau teman sepermainan. Lupa memberi kontribusi dan menginspirasi.
Ketika manusia diperdengarkan sebuah ucapan; “Bahkan bayi yang meninggal satu detik setelah kelahirannya saja, pasti punya misi kenapa dia diciptakan oleh Tuhannya dan dikirim ke alam dunia”, bisa jadi manusia akan sedikit tenang. Manusia akan berfikir bahwa setidaknya, ketika ia lupa meninggalkan jejaknya di dunia, mungkin ada satu misi yang ia tinggalkan di atas tanah sana. Mungkin. Wong bayi yang langsung meninggal saja diamanahi misi ke dunia tho?
Tapi manusia yang begitu, manusia yang tidak meninggalkan jejak seperti itu, manusia yang lupa memberi dunia setidaknya satu kontribusi saja namun percaya dirinya telah menanggalkan satu misi yang Tuhan amanahi, bodohlah ia jika tetap tidak mengetahui misi apa yang sebetulnya telah ia sampaikan pada penduduk bumi. Manusia yang lain akan menertawai. Tentu saja. Karena misi yang ditinggalkan oleh manusia macam begitu, adalah menyampaikan sebuah cerita tentang seorang manusia bodoh yang lupa membagi sisi kebergunaannya sebagai manusia kepada sesamanya.
Beppu, 5 November 2013
09.55 - 10.50 PM

x
x