1994
Lebaran tahun ini,
keadaan mapanku sebagai eksekutif muda Jakarta membuatku percaya diri kembali
ke pangkuan ibunda di handai taulan. Jangan tanyakan oleh-olehku untuk ibu.
Untuk kakak perempuanku saja sudah lumayan berlebih, apalagi untuknya yang paling
kumuliakan seumur hidupku. Sebetulnya aku juga merindukan anak laki-lakiku.
Mungkin nanti bisa berjumpa jika aku menemuinya di kediaman ibunya yang sudah sejak lama berpisah denganku. Sementara bapakku?
Sudah lama meninggal dunia.
Tidak banyak yang
berubah setiap kali aku datang kembali ke kampung kecilku ini, Banjarsari,
Kabupaten Ciamis. Mungkin jangka setahun tidak cukup lama untuk meninggikan
‘gedung-gedung’ yang tinggi rata-ratanya hanya beberapa kali dari tinggi
badanku. Mungkin jangka setahun tidak cukup lama pula untuk menebangi kehijauan alam di kampungku ini. Dan terlebih,
jangka waktu setahun tidak cukup lama untuk mengadakan jalan aspal bagi mobil yang
kubawa dari kota. Katanya, hanya ada sehitungan jari yang pakai kendaraan dari
besi di kampung ini.
Seusai khidmat
shalat 'Ied aku jalani di alun-alun bersama serayaan warga desa, saling
bersilaturahim antar tetangga adalah kewajiban yang utama. Hari itu aku
menyadari bahwa ternyata ada juga yang berubah di ranah lahirku ini. Harus aku akui,
remaja perempuan disini sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik-cantik. Rasanya,
aku rindu lagi rasa-rasa saat masih tidak sendiri.
Hari itu aku
bertemu lagi dengan orang lama namun berparas pada baru. Banyak dari teman-teman lama, banyak juga pemuda-pemudi yang usianya jauh dibawah umurku. Salah
satunya, dengan seorang gadis bernama Yayu yang katanya bekerja juga di Jakarta.
Kami berkenalan (lagi). Wajahnya yang manis lagi rupawan, tidak bisa aku
hiraukan begitu saja. Padahal dulu, ia hanyalah anak ingusan biasa, ketika aku
mengetahuinya sebagai murid guru ngajiku juga semasa aku seumuran Yayu kecil. Kuberikan
nomor telepon kantorku barang kali dia butuh apa-apa sekembalinya ia ke Jakarta nanti. Walau bagaimana pun, beratasnamakan asal kampung yang sama, sesama perantau pasti butuh saling
menguatkan di tempat yang jauh dari kampung halaman apalagi di kota besar sekeras Jakarta.
Persis dua minggu
berselang, aku yang sudah kembali bekerja lagi di kantor dan memulai aktivitas
seperti biasa di Jakarta, mendapatkan telepon dari seorang wanita,
kata seorang staff kantor yang bertugas jaga telepon. Rupanya dia Yayu. Entah ada angin
apa yang mengantarkannya untuk menelepon kemari. Yang jelas, hari itu aku
mengerti bahwa Tuhan begitu Maha Mendengar. Yang benar saja, di depan telingaku
tepat, mukjizat-Nya datang. Suara Yayu yang cempreng
seakan menjadi jawaban doaku semalam. Pasalnya, sehabis larut malam aku
kecapaian pulang dari lembur bekerja, aku mendadak meminggirkan mobil dan
berhenti begitu saja di pinggiran jalan. Kemudian aku pun berdoa. Begini pintaku pada Tuhan: “Hamba begitu capek menjalani rutinitas yang
terlalu melelahkan ini, Tuhan. Berilah hamba seorang ‘teman’ yang baik. Yang sholehah.” Hanya itu. Hanya begitu saja. Hanya dua
syarat: baik, dan taat agamanya. Berprasangka baiklah aku pada Tuhan barangkali telepon dari Yayu ini adalah sebuah pertanda tepat.
Setelah berbincang sebentar via suara, aku dan Yayu memutuskan untuk janjian bertemu. Hari Jumat adalah
hari yang ditetapkan untuk kami saling sua, terbilang hanya tiga hari dari percakapan
telepon kami saat itu. Rupanya dia bekerja sebagai waitress di sebuah restoran khas Jepang. Singkat cerita, hari Jumat itu pun kami habiskan sebagai
sesi perkenalan. Kuketahui kemudian bahwa seragam kerjanya yang mengenakan rok mini,
semakin menguatkan niatku untuk menikahinya. Biar aku jilbabi parasnya yang ayu itu.
Terhitung tiga bulan, kedekatan kami berjalan pada keseriusan. Setelah
memastikan pria di kampung sana yang katanya hendak dijodohkan dengan Yayu benar-benar telah mundur dari barisan, aku pun mengutarakan maksudku yang
mulia. Aku melamarnya. Seorang gadis berbudi baik dari keturunan yang baik
pula.
Bu Yayu, Si Sulung, dan Pak Slamet. |
Aral
melintang. Pihak keluarga perempuan ternyata menentang. Katanya, aku tipikal
pria kasar yang ringan tangan sampai-sampai bisa bercerai dengan isteriku yang
sebelumnya. Ketika Yayu yang terlanjur mencintaiku tidak mempermasalahkan statusku
sebagai duda beranak satu dan terpaut selisih umur sembilan tahun, justeru
masalah datang dari pihak tetua Yayu yang terlampau percaya dengan berita entah
dari mana. Miris sekali sebenarnya. Setahuku, perceraianku dengan si mantan
isteri adalah hal yang berkaitan dengan prinsip. Sudah tidak sejalan. Dan
perempuan, kalau sudah bisa mencari sendiri kemauannya, sudah lupa saja bahwa pernikahan
adalah hal suci yang patut dijunjung tinggi.
Terhitung
kurang dari dua minggu, intensif doaku terkabul sudah. Benteng tetua melemah. Perlahan
tapi pasti, kharismaku mungkin saja menyentuh perhatian mereka. Izin calon
mertua sudah tergenggam oleku, sementara urusan finansial dan terlebih restu
ibu, sudah siap dari waktu-waktu lalu. Harinya tiba. Sebuah pesta yang
sekaligus menyambut tahun baru. Tanggal 31 Desember 1994, Yayu menjadi isteri
sahku. Kumaharkan ia dengan seperangkat alat shalat dan emas 106 gram beratnya. Satu ons emas yang kukumpulkan sebagai tanda betapa berharganya Yayu dan pesta pernikahan yang lumayan mewah untuk ukuran di kampung, sebetulnya tetap tidak akan melukiskan betapa berharganya Yayu untukku. Kami lalu memulai dan membina lagi serangkaian jilid baru untuk hidup kami di awal tahun 1995.
Mencita-citakan keluarga yang damai dengan putera-puteri terkasih untuk dididik
menjadi pribadi yang berguna bagi serayaan dunia.
Jakarta, 15 July 2013 | 23.23 WIB