Sayangku Muaaz...
Kalau ada satu nasihat yang harus Mama berikan padamu kelak ketika kamu besar, Mama hanya akan bilang;
"Jadilah seperti Papa, Nak".
Insyaaa Allah hanya dengan itu, bekalmu cukup untuk menjadi penimba ilmu, suami yang sangat baik dan sabar, serta ayah yang teramat penyayang. Beberapa tahun dari sekarang, ketika kamu sudah bisa berkomunikasi dengan lancar, Mama akan selalu katakan kepadamu, "Muaaz no Papa wa sekai no ichiban ii Papa dayo!". Karena Mama menjadi saksinya sendiri, betapa ia tidak pernah lebih payah dari Mama soal mengurusimu tiap hari meski ia tidak tercipta dengan berbagai perangkat keibuan layaknya rahim atau puting. Betapa ia sangat telaten dalam merawatmu, menyabarimu, serta menghujanimu dengan cinta tiap waktu. Semoga kamu bisa meneladaninya, Nak. Semoga kamu bisa lebih dari sekadar berterimakasih padanya, dengan pembuktian di yaumil akhir kelak dimana kamu menjadi syafaatnya.
Aku tak tahu syariat Islam
Yang kutahu sari konde Ibu Indonesia sangatlah indah
Lebih cantik dari cadar dirimu
Gerai tekukan rambutnya suci
Sesuci kain pembungkus wujudmu
(Penggalan puisi Sukmawati Sukarnoputri)
***
Membandingkan konde dengan cadar, selain bentuk kesalahkaprahan bisa juga merupakan buah kesempitan cara berpikir. Konde diciptakan untuk mempercantik, sementara cadar disyariatkan untuk menutupi kecantikan. Adalah komparasi yang miskin kehati-hatian jika kedua benda yang tujuannya jelas saling kontras begitu harus dibandingkan dalam satu standar yang sama, yaitu keelokan/estetika.
Lalu, apakah ‘ulah’ Bu Sukma membacakan puisi beliau di ajang pagelaran kebaya karya Bunda Anne Avantie bisa dikategorikan penistaan agama? Sejujurnya —tanpa sedikit pun mengurangi rasa percaya saya terhadap syariat bercadar bagi kaum muslimah karena saya sendiri pun adalah wanita bercadar, saya pribadi berpendapat bahwa hal tersebut bukan bentuk penistaan agama melainkan aksi penuh kecerobohan saja. Kenapa? Karena dari awal saja Bu Sukma sudah bilang "Saya tidak tahu syariat Islam", akan berbeda jadinya jika Bu Sukma melantun "Saya tahu syariat Islam itu salah/bohong/jelek".
Sebagai seorang budayawati, Bu Sukma cukup ceroboh jika harus mengindetikkan kecantikan Ibu Indonesia hanya dengan konde, karena faktanya Indonesia sendiri terdiri dari 35 provinsi dengan muatan kultur dan persepsi cantik yang berbeda-beda di tiap budayanya. Wanita Minang yang memakai tengkuluk tanduk dan wanita Papua yang berambut pendek tidak mesti berkurang ke-Ibu Indonesia-annya hanya karena tidak berkonde. Pahlawan Nasional seperti Hj. Rasuna Said dan Hj. Siti Walidah (isteri KH. Ahmad Dahlan) tidak luntur kepahlawanannya sebagai Ibu Indonesia hanya karena mereka memilih membungkus wujud cantiknya dengan selembar kain kerudung di kepala. Begitu pun dengan saya dan ribuan wanita Indonesia lain yang juga bercadar, tidak lantas membuat kami keluar dari barisan Ibu Indonesia. Rasa-rasanya, kalau “diskriminatif” masih terdengar terlalu kasar, bolehlah kiranya saya menamai pola pikir Bu Sukma sebagai “etnosentrik”; dimana Bu Sukma hanya menggunakan latar belakang budaya Jawanya untuk menilai kecantikan para wanita di Indonesia dalam sekala nasional yang ia beri judul “Ibu Indonesia”.
Kecerobohan lain Bu Sukma berasal dari luputnya ia meninjau sebuah budaya asli dari Bima, Nusa Tenggara Barat, dimana kain sarung bernama “rimpu” hasil tenunan warganya digunakan untuk menutupi bagian tubuh wanita daripada khalayak yang dianggap tidak berhak melihat kecantikannya. Tidak hanya membungkus wujud wanita sampai badan dan kepala, rimpu harus juga dibalutkan menutupi wajah kecuali bagian mata persis seperti cadar jika si wanita belum menikah. Asimilasi budaya sarung dan syariat menutup aurat ala ajaran Islam yang sudah mengakar sangat lama di Bima dan mengharmoni dalam rimpu menjadi bukti tersendiri bahwa Ibu Indonesia tidak hanya terdiri dari wanita cantik yang berkonde tapi juga wanita cantik yang memilih menutup kecantikannya.
Berangkat dari pemikiran di atas, walaupun suara saya tidak mutlak mewakili kaum wanita bercadar, saya pribadi tidak marah terhadap aksi puisi Bu Sukma namun sangat wajar rasanya kalau saya cukup tersinggung. Saya tersinggung karena Bu Sukma duluan lah yang menyinggung cara berpakaian saya di tempat dimana ia seharusnya bisa fokus mempuisikan keindahan cara berpakaiannya sendiri. Kalau menurutnya konde indah, kenapa harus sembari bilang bahwa yang lain tidak indah? Kalau mau bilang “saya cantik” kenapa mesti pakai redaksi “saya cantik karena dia lebih jelek”? Bukannya kata orang bijak, a flower does not think of competing to the flower next to it, doesn't it just bloom? Lagipula, Anne Avantie itu jualan kebaya, bukan jualan konde. Tanpa dibandingkan dengan cadar pun, kebaya Anne Avantie sudah tersohor ke seluruh negeri, kok.
Maka dari itu, benarlah apa yang diucap para ulama. Orang yang tidak beriman, janganlah campuri urusan umat Islam karena tidak akan pernah nyambung jadinya. Tidak akan sama penilaian orang yang beda hati-beda keyakinan dalam memandang suatu hukum agama. Bagi kita ketaatan, baginya dogma. Bagi kita pilihan, baginya paksaan. Kepada hati yang masih marah dan tidak terima, mari berkaca lagi benarkah syariat Islam yang sedang kau bela dan bukan egoisme serta ikut arah angin semata? Karena sejatinya membela syariat Islam seharusnya dimulai dengan menegakkan syariat Islam itu sendiri di kehidupan sehari-hari, bukan malah baru membela dengan ikut berkoar hanya saat ada yang menyinggung/menghinanya saja. Terakhir, semoga kita semua dilindungi dalam hidayah istiqomah-Nya dan Indonesia selalu damai sentosa saja. Amin-kan ya?
Referensi:
http://sejarahlengkap.com/tokoh/pahlawan-nasional-wanita
Foto: Google
Foto: Google
Tentu sudah teramat sering kita mendengar pentingnya peran ibu dalam setiap lini hidup manusia. Betapa mereka dimuliakan di agama mana pun, harkatnya dinomorsatukan sebagai manusia yang paling berhak mendapat bakti kita. Pengorbanan mereka tidak terbatas, sudah tidak mungkin terhitung berapa banyaknya keinginan mereka dinomorduakan setelah kepentingan kita.
Lebih hebatnya, pengorbanan itu berlangsung tidak dalam waktu sepekan-dua pekan saja, melainkan bertahun-tahun dari mulai kita dalam perutnya hingga kita dewasa dan memilih jalan hidup sendiri dengan keluarga baru kita. Sampai disini, semua kalimat-kalimat tersebut rasanya hanya terdengar sebagai puisi di telinga saya hingga dua bulan lalu, tepatnya tanggal 26 November 2017, Morita Muhammad Muaaz (baca: Mu'adz) anak pertama saya terlahir ke dunia.
Perjuangan melahirkan Muaaz telah membuka mata saya seluas-luasnya tidak hanya terhadap peran ibu saya sendiri, melainkan juga tentang bagaimana dunia ini bekerja. Di atas bumi yang kita pijak sekarang, ada milyaran manusia beraktivitas di atasnya, dari mulai jadi gembel hingga presiden negara. Faktanya, mereka bisa sampai ada di dunia ini karena lahir dari rahim sesosok makhluk bernama "perempuan". Dari berpayah-payahnya seorang perempuanlah kepanjangan takdir Tuhan akan lahirnya satu orang manusia baru ke bumi-Nya bisa terjadi, termasuk dalam kasus Siti Maryam yang dianugerahkan-Nya anak walau tanpa tersentuh tangan laki-laki.
Hebatnya lagi, Maha Besar Allah, kejadian perempuan berpayah-payah seperti ini tidak terjadi hanya satu kali, tapi entah berapa milyar kali hingga akhirnya peradaban ini tercipta di dunia dan tetap terus berjalan hingga detik ini.
Sesaat setelah Muaaz terlahir di ruang persalinan rumah seorang bidan di kampung saya, Muaaz menangis disambut dengan tangisan saya sejadi-jadinya. Saat suami saya menggendongnya dan kemudian bidan pindahkan ia ke dekapan saya, tidak ada lagi kata-kata yang saya ucap di telinga mungilnya selain "I love you, sayang..." sambil diselingi dzikir syukur dan ungkapan-ungkapan ketidakpercayaan yang saya tujukan untuk suami saya yang selama delapan jam ikut berjuang menyemangati saya dengan cinta, agar saya bisa kuat menikmati satu demi satu rasa mules yang sakitnya luar biasa. "Love, this is our baby, Love! He's here now..."
Setelahnya, saya pikir perjuangan saya sudah selesai, ternyata hari-hari berikutnya justeru lebih melelahkan. Namun, betapa hebatnya Allah telah menanamkan rasa cinta luar biasa di dalam dada manusia hingga rasa lelah pun berganti menjadi rasa sayang tidak terbendung ketika Muaaz si bayi kecil yang hanya bisa menangis dan merepotkan tetap saja bisa membuat saya tersenyum bahagia.
Setelahnya, saya pikir perjuangan saya sudah selesai, ternyata hari-hari berikutnya justeru lebih melelahkan. Namun, betapa hebatnya Allah telah menanamkan rasa cinta luar biasa di dalam dada manusia hingga rasa lelah pun berganti menjadi rasa sayang tidak terbendung ketika Muaaz si bayi kecil yang hanya bisa menangis dan merepotkan tetap saja bisa membuat saya tersenyum bahagia.
Maha Besar Allah pula, Allah tidak titipkan cinta seorang ibu hanya sampai ke anaknya saja tapi hingga cucu dan cicitnya. Selama sebulan lamanya setelah Muaaz lahir, ibu dan nenek saya sangat berandil besar dalam membantu saya dan suami saya mengurus Muaaz selama kami berada di Indonesia. Rasanya tidak akan terbayangkan bagi saya kalau saya yang belum berpengalaman dan masih dalam proses penyembuhan harus mengurus bayi saya berdua saja dengan suami.
Kehadiran Muaaz juga menjadi kebahagiaan bagi semua orang di keluarga besar kami. Betapa saya melihat dengan mata kepala sendiri kasih sayang ayah, ibu, kakek, nenek, paman-paman, bibi-bibi, adik-adik, juga sepupu-sepupu saya mengalir deras untuk Muaaz. Betapa hal ini telah memperingatkan saya bahwa hidup saya juga begitu berarti karena kelahiran saya 22 tahun yang lalu pun pasti dielu-elukan sekali oleh mereka kala itu.
Kehadiran Muaaz juga menjadi kebahagiaan bagi semua orang di keluarga besar kami. Betapa saya melihat dengan mata kepala sendiri kasih sayang ayah, ibu, kakek, nenek, paman-paman, bibi-bibi, adik-adik, juga sepupu-sepupu saya mengalir deras untuk Muaaz. Betapa hal ini telah memperingatkan saya bahwa hidup saya juga begitu berarti karena kelahiran saya 22 tahun yang lalu pun pasti dielu-elukan sekali oleh mereka kala itu.
Betapa kelahiran Muaaz telah memperlihatkan saya dengan detail bagaimana susahnya ibu saya mengurus saya setiap hari. Detail sedetail-detailnya karena saya sekarang merasakan sendiri apa yang telah dialami ibu saya.
Hari ini, setelah dua bulan menjadi seorang ibu pun, rasa lelah tidak kunjung mereda, hanya saja ritmenya sudah mulai teraba. Saya dan suami mulai terbiasa, dan itulah yang terjadi di dunia beribu tahun lamanya hingga peradaban ini tercipta. Semua karena cinta-Nya. Karena Dia telah titipkan rasa cinta dalam diri manusia yang tersiklus terus-menerus dari generasi pertama Adam dan Hawa hingga generasi kita dan seterusnya.
Teruntuk Mamah Yayu yang sangat saya cintai, I love you Mah...
Terimakasih sudah jadi bagian dari peradaban ini.
Teruntuk Mamah Yayu yang sangat saya cintai, I love you Mah...
Terimakasih sudah jadi bagian dari peradaban ini.
Diriwayat-kan oleh al-Bukhari dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu. Ia menuturkan: “Kami bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemuda yang tidak mempunyai sesuatu, lalu beliau bersabda kepada kami:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
‘Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).'”
HR. Al-Bukhari (no. 5066) kitab an-Nikaah
***
Ada seorang muslimah Jepang, muallaf, solihah, menutup aurat sempurna; menikah dengan seorang laki-laki muslim asal luar Jepang yang sayangnya setahun lebih kemudian pernikahan mereka berujung pada perceraian. Duduk perkaranya karena tidak terpenuhinya nafkah lahir oleh pihak laki-laki bahkan seringkali menjadi benalu finansial bagi sang isteri. Niat keduanya untuk tinggal bersama juga kandas karena terkendala oleh masa lalu si lelaki yang berakibat fatal terhadap pengajuan visa laki-laki tersebut untuk tinggal di Jepang. Alhasil karena jarang sekali bertemu, nafkah batin keduanya juga jarang terpenuhi. Padahal, hal krusial macam begini seharusnya bisa dibicarakan di masa taarufan mereka, bukan baru terungkap saat sudah menikah sehingga salah satu pihak merasa dibohongi atau dirugikan.
Kisah yang lain berasal dari seorang perempuan yang saya kenal baik walaupun tidak terlalu dekat. Sudah beberapa tahun terakhir ia dan suaminya pisah rumah, lagi-lagi perkaranya karena nafkah lahiriyah yang disepelekan. Walaupun betul si isteri sangat mampu dan bisa berpenghasilan sendiri, tapi wajar sekali kalau hal ini mengikis barakah dan sakinah dalam rumah tangga mereka.
Kisah selanjutnya datang dari salah satu sahabat saya sendiri. Ada seorang pemuda mengajukan diri kepada sahabat saya. Maka sebagai muslimah berilmu, sahabat saya itu segera membawa proposal pemuda tersebut ke orangtuanya, supaya langsung dapat diproses kalau orangtuanya setuju, atau segera‘say goodbye’ saja kalau orangtuanya tidak setuju.
Diluar dari perkiraan sahabat saya, orangtuanya jatuh hati dan mengelu-elukan sekali pemuda tadi. Naasnya, ternyata ayah dari pemuda itu belum mau anak laki-lakinya menikah dekat-dekat ini. Lah? Lalu bagaimana bisa si pemuda itu nekat datang melamar anak gadis orang dan me-lobby kedua orangtua si gadis kalau izin ayahnya sendiri belum dikantongi?
***
Wahai laki-laki muslim harapan agama ini... Izinkan saya yang fakir ilmu ini sedikit saja menutur nasihat.
Segala macam persiapan menuju pernikahan baik dari sisi lahir (nafkah, materi, dll) dan juga batin (izin orangtua, mental dan kematangan) yang kalian butuhkan dalam membangun jiwa tanggung jawab kalian sebagai pemimpin rumah tangga kelak adalah tugas kalian sendiri, sebagaimana kami perempuan dengan ikhtiar kami sendiri juga ikut majelis ini-itu dan belajar masak (misalnya) untuk menambah bekal ilmu rumah tangga kami.
Wahai laki-laki muslim harapan agama ini...
Jangan libatkan perasaan orang lain dulu kalau persiapan kalian belum benar-benar matang. Rumus yang islam ajarkan adalah mampu dulu baru cari pendamping hidup. Bukan ikat anak perempuan orang terlebih dulu dengan berbagai macam kemungkinan-kemungkinan semu lalu ajak perempuan tersebut untuk bersama-sama menyiapkan diri. Sekali lagi: siapkan dan barulah cari, bukan cari kemudian disiap-siapkan.
Walaupun islam tidak mensyaratkan mapan, tapi islam syaratkan mampu menafkahi lahir-batin. Walaupun betul bahwa para perempuan juga perlu menyiapkan diri dengan berbagai ilmu dan keterampilan sebagai madrasah pertama bagi keturunannya kelak, tapi perempuan ada di pihak yang ‘diminta’ dari keluarganya, bukan pihak yang harus mengikhtiarkan kesiapan diri kalian sebagai kepala rumah tangga nantinya.
Wahai laki-laki muslim harapan agama ini...
Kalau saja setiap laki-laki muslim pakai rumus 'mampu dulu baru mengajukan diri untuk taaruf', maka hukum islam tentang haramnya pacaran jadi makes sense. Jadi logis. Karena kedua pihak (laki-laki dan perempuan) hanya akan diketemukan saat keduanya sudah siap betulan untuk menuju jenjang pernikahan. Pun kalau saat diketemukan dalam proses taarufannya pihak perempuan ternyata belum begitu siap dan cakap di beberapa hal kecil, hal tersebut tidak akan jadi masalah besar karena lelaki yang sudah siap lahir-batin untuk menikah pasti sudah juga menyiapkan mental untuk mendidik isteri, karena insyaaaAllah Allah pun akan memilihkan perempuan yang kesiapannya sudah matang dan sekufu. Kalau sudah saling sreg tapi masih harus sama-sama berjuang untuk menyiapkan pernikahan dari segi izin orangtua, finansial pihak laki-laki, dan urusan tek-tek bengek lain yang membuat keduanya berinteraksi cukup intense dan intim dalam jangka waktu yang lama apalagi sampai bertahun-tahun mah, ya apa bedanya sama pacaran yang dilarang islam?
Misi pernikahan dalam islam itu sangat agung, jadi jangan bawa peer duniawi terlalu besar ke dalam pernikahan. Karena saat sudah menikah, diharapkan suami-isteri fokus membangun keluarga dan mimpi-mimpi akhirat yang lebih sakral lagi, seperti belajar parenting bersama dan membangun cinta lewat saling mengenal satu sama lain lebih dalam.
Jangan sampai syarat islam yang memudahkan pernikahan hanya dengan kecukupan tanpa perlu menjadi mapan malah melenakan pemuda islam hari ini untuk menganggap remeh soal materi. Jangan sampai kalah dengan pemuda jarang ngaji yang justeru getol mencari pundi-pundi rezeki.
Allah memang menjanjikan kekayaan bagi pemuda yang menikah untuk menjauhi fitnah, tapi Allah melarang suami berbuat dhalim kepada isteri dengan tidak menafkahinya. Masa depan memang hanya Allah yang tahu, but we are required to strive for the best and leave the rest to Allah, bukan gaspol yang penting halal dulu.
Kalau ikhwan fillah mau mengajak seorang perempuan bertaaruf, kalian harus beres dengan diri kalian terlebih dulu. Beres dari sisi lahir (nafkah, materi, dll) dan juga batin (mental dan kematangan). Ingatlah, walaupun peran isteri juga sama pentingnya, tapi dalam menjalankan peran sebagai nakhoda bahtera rumah tangga, tanggung jawab seorang suami itu sangat penting. Ialah kebutuhan yang sangat amat mendasar dalam sebuah institusi sosial bernama pernikahan.
Dan untuk saudariku wahai wanita muslimah...
Ingatlah bahwa harga seorang muslimah begitu mahal dalam islam. Value kita dalam agama ini sangat berarti. Lebih baik menunggu orang yang tepat, siap, dan matang secara agama dan kecukupan materinya dibanding menurunkan standard kita dengan cepat-cepat mengiyakan seseorang yang terlanjur datang tapi meminta kita ikut membangun kesiapannya dalam jangka waktu yang lama untuk berubah dari laki-laki 'anak mama’ menjadi sosok kepala keluarga.
InsyaaaAllah, Allah akan menghadirkan laki-laki yang tepat dan beruntung mendapatkan kita kok jika masa penantiannya kita isi dengan hal-hal baik. Dengan bersiap diri menjadi isteri dan ibu masa depan dengan ikhtiar kita sendiri tanpa ada satu laki-laki pun tahu, insyaaaAllah Allah akan menghadirkan laki-laki yang sepadan dengan hasil ikhtiar kita membenahi diri. InsyaaaAllah!